KEDUDUKAN Kama-Ratih di kerajaan Indraloka tidaklah tinggi. Dalam bahasa sekarang bisa disebutmenengahke bawah. Karena itu, suami-istri itu bias disuruh-suruh oleh dewa-dewa atasannya. Jenis suruhan tentu disesuaikan dengan bidang keahliannya, yaitu asmara .
Misalnya, ketika Dewi Uma sangat merindukan suaminya, Shiwa, yang sedang bertapa, ia menyuruh Dewa Kama untuk melakukan suatu mission impossible. Misinya adalah membuat Shiwa merindukan istrinya, sehingga ia pulang. Cara membuatnya rindu adalah dengan membangkitkan hasrat birahi asmaranya. Uma tidak perlu menjelaskan bagaimana caranya. ltu memang sudah pekerjaan sehari-hari Kama . Tapi karena yang akan digarap adalah Shiwa, dewa tertinggi, maka pekerjaan kali ini sangat berisiko. Kama harus ekstra hati-hati. Ia harus mengerahkan segala kemampuan dan intuisi, guna mengantisipasi segala kemungkinan. Dan memang begitu pula pesan istrinya, Ratih, ketika melepas keberangkatan Kama .
“Hati-hatilah, Suamiku! Kesalahan sekecil apa pun akan berakibat fatal. Jangan pandang sepele kemarahan Shiwa! Waspadailah mata ketiganya”!
Maka,
Maka dengan sangat ekstra hati-hati, Kama menyiapkan anak panah dan perlengkapannya. Sesuai dengan prosedur pelepasan anak panah asmara. Kama melepaskan anak panah pertamanya. Tepat mengenai sasaran bidik. Anak panah kedua dan seterusnya juga tidak meleset sedikit pun. Kama memang master di bidangnya.
Shiwa pun membuka mata dari keterpejamannya yang dalam. Hal pertama yang diingatnya adalah istri. Hal pertama yang ia ingat tentang istrinya adalah kemolekan tubuh dan kecantikan wajahnya. Bersamaan dengan itu, kenangan manis persenggamaan terakhir sebelum mereka berpisah muncul perlahan-lahan endapan kenangan. Kenangan itu menarik-nariknya. Dan Shiwa pun sangat merindukan istrinya. Ia ingin segera ada di
depan istrinya. Ia ingin senggama-asmara badan.
Pada momen kritis itu Shiwa melihat kelebatan Kama di tempat persembunyian. Detik itu juga Shiwa sadar, bahwa kerinduan asmaragamanya adalah ulah Kama. Untuk apa Kama ada di sekitar pertapaannya kalau bukan niat mempermainkan libidonya. Kurang ajar! Berani -beraninya anak bau kencur itu. Bahwa pertapaannya menjadi batal, itu adalah kesalahan Kama, bukan kesalahan dirinya.
Murkalah beliau, sebelum tahu apakah kedatangan Kama murni atas kemauan sendiri, atau atas suruhan orang lain. Sudah menjadi pengetahuan umum di alam dewa-dewa, bila Shiwa sampai murka, itu artinya masalah yang sangat serius. Pasti akan jatuh korban kutukan. Melihat situasi gawat seperti itu, dan Kama sudah tidak mungkin berkelit, ia pun pasrah.
Lututnya gemetar. Semua kariernya akan berakhir saat itu juga, di tempat itu juga. Kutukan sudah pasti akan dijatuhkan. Entah kutukan apa akan diterimanya, itu harus dinanti. Adakah yang lebih menyiksa daripada menanti kutukan?
Api menyambar-nyambar dari mata ketiga Shiwa. Tidak tahu bagaimana harus melukiskan kedahsyatan api itu.
Bagaimana dengan Ratih? Agar Ratih tidak terpisah dengan suaminya, iapun lantas digeseng, “bakar”, dan diturunkan ke dunia, juga tanpa tubuh, dengan tugas menyusup ke hati tiap perempuan. Di dunia yang disebut semacam ashrama itu, keduanya tidak akan leluasa bertemu semau mereka. Mereka dipisahkan oleh tubuh laki dan badan perempuan. Mereka hanya akan bertemu bila terjadi senggama asmara antara laki dan perempuan. Itupun kalau asmaragama itu benar. Bagaimana asmaragama yang benar ? Itu masalah
Sungguh tragis nasib Kama. Ironis perjalanan hidupnya. Ia menjalani sisa hidupnya dalam penjara bernama tubuh lelaki. Hanya sesekali ia akan bertemu dengan pasangannya, yang dijebloskan ke penjara tubuh perempuan.
Pertemuan itu akan berlangsung sebentar saja. Apa boleh buat, itu semua adalah konsekwensi dari sebuah tugas yang diembannya sebagai dewa bawahan.
Begitulah cerita Mpu Dharmaja dalam Kakawin Smaradahana, yang berarti “dahaga
Padahal kita bersikeras ingin mendapatkan pemahaman yang utuh.
Karena sebuah kesalahan alam atas
Saya tidak berani meladeni pikiran sendiri, bahwa semua kita ini adalah rentetan terujung dari sebuah lingkaran yang titik awalnya adalah kesalahan. Dan dengan meneruskan kehidupan ini, kita akan membuat lingkaran-lingkaran kesalahan baru. Siapakah kita ketika sedang berhadapan dengan Kakawin Smaradahana?
SMARA RATIH, yang tanpa mengembara di dunia dari hati ke hati. Di setiap persinggahan hati mereka bekerja, membangkitkan rindu, mendorong-dorong agar terjadi pertemuan. Tidak setiap yang memujanya akan disinggahi. Dan tidak setiap yang tidak memujanya tidak akan disinggahi. Ia benar-benar hidup. Ia tahu di hati mana mesti menabur benih. Dan mereka tidak mengatakan rahasianya. Orang yang mengetahui rahasia itu, bukan karena membaca, bukan pula karena tidak membaca. Bukan karena puasa, bukan pula karena tidak puasa. Tidak ada jalan, kecuali Smara Ratih itulah jalan.
Suksma, rahasya, tepet, itulah ciri pertemuan benih-benih mereka. Bila mereka sedang bekerja, maka mulailah akan dirasakan hal-hal yang halus di dalam dan di 1uar diri ltulah suksma. Yang ramai menjadi sunyi, yang biasanya dikatakan akhirnya dibisikkan, dan yang biasanya dibisikkan menjadi tidak diucapkan. Tidak ada yang melihat, karena yang melihat berubah menjadi yang dilihat. Itulah rahasya, pertemuan itu hanya sesaat. Tapi apalah sesaat, dan apalah artinya lama, bagi sebuah kedalaman. Dari yang sesaat terjadilah kesuburan, kehidupan, penciptaan, wajah baru. ltulah yang disebut tepet. Dari keadaan tepet inilah lahir apa yang orang sebut dengan istilah taksu. Tidak bisa dipelajari, tidak bisa dinanti. Ia terjadi oleh sebuah “pertemuan”.
Tidak bisa lain. Hanya dengan cara seperti itu Smara Ratih menyatakan diri ada. Smara Ratih pendatang baru di dunia, yang di daerah asalnya diusir karena kutukan akibat kesalahan fatal. Dewa datang dari jauh. Ia dipuja. Ia disembah. Ia diistanakan di dalam hati. Kepadanya orang menangis mengadukan penderitaan sepi hatinya. Kepadanya orang memohon bantuan agar bisa berdamai dengan kerinduan yang me1edak-1edak. Memang seperti itu alam berbicara. Ia yang menciptakan adanya rindu, dan kepadanya orang mencari obat kerinduan. Diciptakannya hati yang merana. Diberinya obat pada kemeranaan hati itu. Kemudian dibuatkanlah oleh orang sebuah cerita. Bagaikan seutas tali, cerita yang dibangun kata-kata lebih erat mengikat pikiran orang-orang daripada tali itu sendiri.
Inilah yang dikatakan cerita selanjutnya.
Smara Ratih harus dipertemukan agar kehidupan terus ber1anjut. Tapi tidak sembarang orang tahu bagaimana cara mempertemukan mereka. Tidak setiap senggama asmara badan berarti. pertemuan Smara Ratih. Tidak setiap pembuahan benih dan telur dihadiri Smara-Ratih. Oleh karena itu Shiwa sendiri yang kemudian turun untuk mempertemukan mereka. Kesuburan, tanda kehidupan akan berlanjut, harus diadakan. Maka Smara dan Ratih dipertemukan secara mistis disebuah bale paselang. Yantra, mudra, mantra tertuju pada kedua pasangan yang masih tertidur. Berbagai rentetan upacara digelar sebe1umnya. Pertemuan mistis itu adalah puncaknya. Smara adalah salah satu ujung duri. Ratih adalah ujung duri satunya 1agi. Perwakilan Shiwa di dunia berjuang untuk mempertemukan kedua ujung duri. Halus, suksma, gerakannya. Rahasya, itulah pertemuannya. Bila kedua ujung duri itu bertemu, itulah yang disebut tepet. Dengan penguasaan teknik, yang suksma, rahasya, tepet itu bisa diusahakan. Bisa diadakan. Tinggal pembuktiannya saja. Apakah setelah itu kehidupan akan menjadi lebih bagus, atau tidak. Untuk itu perlu diketahui dengan apakah itu bisa dirasakan?
Pertemuan Smara Ratih adalah masalah guna, kualitas. Banyaknya bayi-bayi yang dilahirkan bukan sebuah pertanda keberlangsungan kehidupan. Melimpahnya hujan, berlipatnya hasil panen juga bukan. Semakin banyak yang bisa dikonsumsi, juga bukan. Kehidupan tidak dititipkan keberlangsungannya pada “yang banyak” itu. Tapi ada apa?
Jawabannyapun dititipkan pada cerita. Pada ceritalah orang kembali. Dan di dalam cerita, sekali lagi, bukan kepastian yang didapatkan tapi kemungkinan-kemungkinan. Orang harus merasa cukup . dengan kemungkinan-kemungkinan itu. Ingin lebih dari itu, lobha namanya. Lobha itulah awal kematian.
Tapi ada cerita lain. Orang yang ingin bebas dari lingkaran roda kelahiran, bebas dari putaran hidup mati, harus tahu cara memisahkan Smara dan Ratih. Ada beberapa pesan yang disampaikan tentang pemisahan ini. Pasahakna ikang purusa lawan pradhana. “pisahkanlah Purusan dengan Pradhana”. Mempertemukan dan memisahkan. Menyatukan dan menguraikan. Mabhanda bheda, mengikat dan melepaskan. Seperti main layangan, mengulur dan menarik. Tahu dari mana dan kemana angin bertiup. Pada saatnya angin (baca: bayu) pulalah yang memisahkan Purusha dengan Pradhana. Tapi kesadaran tidak sama dengan layang-layang putus. Tubuh ini tidak persis sama dengan tali. Metafora tidak pernah persis sama dengan kenyataan.
Itulah yang hendak dicontohkan oleh Shiwa ketika meninggalkan istrinya, dan menggelar tapa. Shiwa, rajanya para pertapa, masih menggelar tapa? Ya, begitu yang dikatakan cerita. Tidak lebih dan tidak kurang. Shiwa saja masih bertapa. Matahari saja masih bekerja. Laut saja masih gelisah. Gunung saja masih memendam panas di dadanya. Angin saja masih menempuh arah. Apalagi Kama dan Ratih yang ada dalam penjara badan.
Ketika Kama berusaha menarik Shiwa kembali ke istri, Shiwa pun mematikan
Bumi ini disebut mertyapada yang berarti tempat dimana ada kematian, bukan tempat di mana ada kehidupan. Apakah itu pertanda kelak Smara dan Ratih juga akan mati di mertyupada ini? Atau, mereka hanya transit sebentar di tubuh dan jiwa orang-orng yang pasti akan mati? Ternyata ada cerita lain. Kanan yang pasti mati hanyalah yang dilahirkan, dan yang memiliki tubuh. Yang tidak dilahirkan (a-ja) tidak akan mati. Yang tidak memiliki tubuh (anangga) tidak akan mati. Jadi, Kama Ratih tidak akan mati. Mereka juga tidak akan kembali ke asalnya. Mereka akan terus saja nengembara di dunia ini, sebagai Sanmatta dan Indu. Shiwa sendirilah sesungguhnya Mahakama itu. Shiwa terus bekerja, dan masih bekerja. ☼IBM Dharma Palguna. (Balipost - Apresiasi).
0 komentar:
Posting Komentar