Kamis, 01 Desember 2016

Kisah, Mitos, Dan Misteri Kembar Buncing

I Dewa Gede Bagus

Kembar buncing adalah kondisi dimana bayi kembar yang dilahrikan berjenis kelamin laki-laki dan perempuan, di beberapa daerah di Indonesia, khususnya di Bali yang masih menganut kepercayaan buruk tentang bayi kembar buncing dan keluarganya membuat aturan yang menyudutkan keluarga tersebut. Berikut sepenggal kisah tentang kebahagiaan, kesedihan, dan perjuangan dari keluarga yang memiliki bayi kembar buncing, cerita ini dilansir dari smbbali.co.id.
Luh Sarni telah melahirkan bayi kembar. Yang lebih mengejutkan, bayi tersebut bukan kembar biasa. Tapi kembar buncing, kembar laki-perempuan! Meski lahir di rumah sakit di kota kabupaten, berita telah menyebar dan menggegerkan warga desanya. Tubuh Luh Sarni, yang masih lemas karena melahirkan, kini semakin lemas. Ia masih berbaring di ranjang rumah sakit. Tiga hari lagi dokter membolehkannya pulang. Dengan gundah, ia menatap kedua bayinya yang tidur lelap. Suaminya, Wayan Darsa, tercenung di tepi ranjang.
Ombak kebahagiaan di hati pasangan muda itu perlahan ditelan gelombang kecemasan. Darsa telah membayangkan bencana yang akan menimpa mereka jika pulang ke desa. Atas nama aturan adat, mereka tidak akan diperlakukan sebagaimana layaknya manusia.
“Apa yang harus kita lakukan, Bli?”
“Aku sendiri tidak tahu, Luh. Aku bingung, mesti harus berkata apa pada tetua adat dan warga desa? Kita tidak pernah meminta bayi ini lahir kembar buncing. Ini sudah kehendak Dewata!”
“Kenapa warga desa masih saja percaya dengan takhayul,” gumam Luh Sarni.
“Kau tahu sendiri, Luh, kita tinggal di sebuah desa di mana tidak satu pun warganya mengenyam pendidikan tinggi seperti kita. Mereka hanya akrab dengan sawah dan lumpur,” Darsa mencoba menghibur meski hatinya pedih.
“Beginilah akibatnya. Setahun lalu Bli sendiri yang memutuskan tinggal di desa? Saya sudah bilang, lebih nyaman di kota. Kita bisa bebas menentukan jalan hidup kita sendiri, jauh dari aturan adat dan berbagai beban upacara rumit.”
“Tapi, Luh, aku masih memiliki Ibu. Aku tidak tega meninggalkannya sendirian di desa. Aku anak lelaki satu-satunya. Kau tahu ’kan adik perempuanku sudah menikah. Aku tidak punya pilihan lain, selain bertahan di desa menemani Ibu. Selain itu, aku juga ditugasi mengelola tanah warisan Ayah.”
“Tanah warisan ’kan bisa dijual. Lalu, ajak saja Ibu tinggal di kota,” Luh Sarni mencoba menguasai emosinya. “Tapi sudahlah, percuma berdebat dengan Bli. Sekarang yang perlu dipikirkan, bagaimana menyelamatkan bayi ini agar tidak diasingkan di kuburan!”
“Begini saja, Luh tetap tinggal di sini. Bli akan pulang ke desa, mencoba berunding dengan tetua adat. Aku harap mereka mengerti bahwa zaman telah berubah.”
“Tidak ada gunanya berunding dengan orang-orang kolot itu. Bli akan sakit hati sendiri. Coba sesekali turuti kata-kata saya, kita tinggal di Denpasar. Sementara waktu bisa numpang di rumah bibiku.”
Darsa tidak menjawab. Ia hanya menarik napas panjang dan menghembuskannya dengan berbagai perasaan campur aduk. Kemudian ia mengecup kening istrinya. Menatap lembut kedua bayinya. Lalu melangkah meninggalkan ruangan dengan keyakinan yang berusaha dibangunnya.
Senja hampir pudar ketika Darsa tiba di desanya yang terpencil di lereng bukit. Untuk mencapai desanya dari kota kabupaten, hanya menghabiskan waktu sekitar satu setengah jam. Sepanjang perjalanan pulang ia terus memikirkan nasib bayinya. Seingatnya, ia pernah membaca di koran bahwa sanksi adat bagi bayi kembar buncing dan keluarganya telah dihapuskan puluhan tahun lalu. Tapi, kenapa desanya masih menganggap bayi kembar buncing membawa aib? Kenapa aturan kuno itu belum dihapus dari awig-awig? Tidakkah mereka sadar hidup di abad dua puluh satu?
Darsa masih ingat, sekitar dua tahun lalu pernah terjadi peristiwa pengasingan bayi kembar buncing di desa tetangganya. Bayi dan orangtuanya diasingkan dekat kuburan. Seluruh isi rumah dianggap leteh dan harus disucikan dengan upacara khusus. Selama masa pengasingan, mereka juga tidak dibolehkan memasuki tempat-tempat suci atau bersembahyang di pura.
“Tidak manusiawi sekali!” gerutunya dalam hati.
SAMPAI di rumah Darsa disambut wajah cemas ibunya.
“Tadi pagi tetua adat datang menanyakan bayimu. Mereka ingin memastikan kebenaran kabar tentang bayi kembar buncing itu.”
“Lalu Meme ngomong apa?”
“Meme bilang berita itu tidak benar. Tapi, tetua adat tidak percaya. Mereka memaksa Meme berkata jujur. Kalau tidak, mereka akan melakukan tindakan yang lebih tegas.”
“Bayi itu tidak bersalah, Me. Kita tidak boleh membiarkan mereka membawa bayi itu ke kuburan untuk santapan leak.”
“Tapi kita bisa apa? Besok sore tetua adat bersama warga akan mengadakan paruman mendadak untuk memutuskan masalah ini.”
“Keluarga kita diundang?”
“Tidak.”
“Berarti mereka akan mengambil keputusan secara sepihak tanpa mau mendengar pembelaan dari kita.”
“Karena keluarga kita dianggap membawa aib. Kita hanya bisa pasrah dengan keputusan mereka.”
“Tidak bisa, Me! Saya harus bicara dalam paruman itu!”
“Kau tidak mengerti tabiat desa ini. Kau sama saja dengan ayahmu!”
Darsa menuju ke kamarnya. Pikirannya berputar-putar, seperti benang kusut. Ia merasa sanksi adat ini sangat tidak adil karena hanya berlaku bagi kalangan rakyat biasa. Hanya keluarga bangsawan yang boleh melahirkan bayi kembar buncing. Dan rakyat harus bergembira sebab kelahiran tersebut dianggap membawa berkah dan kemakmuran. Namun, kalau bayi tersebut lahir dari rakyat biasa dianggap aib karena menyamai raja.
“Sungguh tidak adil! Aturan ini harus dihapus dari awig-awig desa,” gumam Darsa kesal. Karena lelah jiwa dan raga, ia akhirnya tertidur pulas.
Paruman belum dimulai. Warga membentuk beberapa kerumunan kecil di pinggir jalan, di warung tuak, dan warung kopi. Mereka ngobrol sangat perlahan dan hati-hati, melihat kiri-kanan, seakan takut suara mereka akan membangunkan hantu-hantu kuburan.
“Mengerikan! Desa kita akan ditimpa kekeringan berkepanjangan.”
“Panen akan gagal lagi.”
“Sebulan lalu ada anak anjing lahir berkaki lima. Seminggu lalu bunga bangkai mekar di jaba pura. Sekarang bayi kembar buncing! Duh… Dewa Ratu, bencana apa yang akan menimpa desa ini?”
“Beberapa malam lalu saya melihat sinar biru melesat dari arah bukit.”
“Aku juga melihatnya.”
“Ya, aku juga lihat. Tapi, sinarnya biru bercampur merah.”
“Akhir-akhir ini memang sering terjadi siat peteng di pinggir desa.”
“Kemarin malam aku malah mendengar suara burung gagak di atap rumah Darsa.”
“Kau tahu, hujan sudah hampir tiga bulan tidak turun di desa kita?”
“Semoga desa kita diberi kekuatan mengatasi aib ini.”
Begitulah, wajah warga desa diliputi berbagai kecemasan dan kengerian. Mereka mengalungkan benang tridatu di pergelangan tangan masing-masing, sebagai penolak bala, pengusir roh jahat yang mengganggu.
Suasana desa benar-benar dicekam ketakutan. Warga sudah mengunci pintu rumah mereka sekitar pukul delapan malam. Mereka merasa lebih aman berkumpul di dalam rumah ketimbang berkeliaran di jalan yang sampai saat ini belum dipasangi penerangan jalan oleh pemerintah.
Tetua adat memasuki balai desa. Warga menghentikan bisik-bisiknya. Paruman berjalan alot. Dari mulut klian adat meluncur berbagai petatah-petitih dan nasihat agar ketenangan desa dijaga, agar warga bersatu mengusir roh jahat yang mengganggu serta bersama-sama mengatasi aib yang menimpa desa.
Sampai pada pokok masalah, dengan wibawa yang dibuat-buat, klian angkat bicara. “Awig-awig harus ditegakkan. Keluarga Darsa harus diasingkan dekat kuburan selama 42 hari. Mereka harus menggelar upacara caru agung yang akan dipimpin oleh pemangku desa.” Warga desa mendengar dengan santun sambil manggut-manggut.
Untuk memancing reaksi warga, klian kembali angkat bicara, “Ada pertanyaan dari warga sekalian?” Para peserta paruman menundukkan kepala. Klian menatap mereka satu per satu. “Kalau tidak ada pertanyaan, paruman akan…!”
“Saya bertanya, Pak Klian!” Warga kaget seperti melihat leak. Tidak terkecuali para tetua adat. Mereka serentak mengalihkan pandangan ke arah Darsa yang dengan tenang menaiki tangga balai desa dan mengambil posisi duduk di depan warga menghadap klian. Warga saling berbisik seperti dengung kerumunan lebah.
“Saudara sekalian harap tenang!” Pak Klian menatap Darsa lekat-lekat. “Kenapa kamu datang ke paruman ini?! Menurut awig-awig kamu…”
“Maafkan kelancangan saya, Pak Klian. Saya hanya mohon penjelasan kenapa sanksi adat mengenai bayi kembar buncing belum juga dihapuskan di desa ini, sementara pemerintah telah melarangnya puluhan tahun lalu?”
Warga desa tersentak mendengar kata-kata yang meluncur dari mulut Darsa. Sebagian geram dengan kelancangannya yang dianggap tidak menghormati paruman. Sebagian lagi diam-diam mendukung dan bangga dengan keberaniannya, meski hanya dalam hati. Mereka takut dengan tetua adat.
Beberapa warga sadar bahwa keluarga Darsa dan bayinya tidak bersalah. Bayi tersebut tentu tidak minta lahir dari rahim Luh Sarni, tapi semata-mata hanya karena kehendak Dewata. Sekarang Darsa yang mengalami nasib seperti ini, besok bisa saja menimpa warga lainnya. Namun, warga tidak mampu berbuat apa-apa di bawah aturan awig-awig yang walau kolot, tapi harus tetap dipatuhi agar terhindar dari sanksi adat yang lebih parah.
Dengan wajah disabar-sabarkan, klian menjawab pertanyaan Darsa yang dianggapnya terlalu lancang. “Kami tidak bisa berbuat apa-apa, Nak. Peraturan itu sudah tersurat dalam awig-awig desa jauh sebelum saya atau kamu lahir. Awig-awig ini sudah di-pasupati. Jadi, kita tidak bisa berbuat apa-apa, kecuali mematuhinya. Dan, menurut awig-awig kamu semestinya tidak boleh menghadiri paruman ini karena masih leteh. Atas kelancanganmu, kau wajib membayar denda…,” klian menarik napas mencoba mengendalikan diri. “Nah, warga sekalian, paruman diakhiri sampai di sini. Sekarang silakan kembali ke rumah masing-masing!”
Klian mengemasi tumpukan lontar yang berisi awig-awig, alat tulis, dan buku catatan, kemudian meninggalkan balai desa diiringi tetua adat yang lain. Satu per satu warga pun kembali ke rumah masing-masing. Sekejap balai desa menjadi senyap. Hanya Darsa yang masih duduk tercenung di tangga balai desa. Darah mudanya mendidih. Ia merasa menjadi pecundang di desa kelahirannya sendiri. Ia merasa tidak dipedulikan, pembelaannya tidak didengar oleh tetua adat.
Bulan hampir penuh menyembul dari rerimbun pepohonan. Kenangan demi kenangan masa kanak-kanak kembali berkelebat dalam benak Darsa. Bermain petak umpet di bawah purnama dengan kawan sebaya. Mandi di kali yang berair jernih hingga sampai lupa waktu. Bersama kakek mengembalakan sapi di sawah sambil mengerjakan PR yang diberikan guru. Darsa begitu mencintai desanya. Desa yang menyimpan manis kenangan masa kanak-kanak.
Masih membekas dalam kenangannya bagaimana ia menangis menatap hamparan desanya dari jalan yang melingkari punggung bukit. Saat itu ia baru lulus SMP dan akan berangkat ke kota untuk melanjutkan sekolah dan kuliah. Darsa beruntung mempunyai ayah seorang guru, meski hanya guru SD di desa. Ayahnya yang terus-menerus mendorong Darsa agar sekolah dan kuliah di kota.
Namun, sukses menyekolahkan anak di kota berbuntut pada tumbuh suburnya rasa iri hati sejumlah warga yang tidak senang pada keluarga Darsa. Apalagi ayahnya dikenal sebagai warga yang paling suka bertanya dalam setiap paruman dan paling kritis dengan kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan tetua adat yang sering kali mengatasnamakan awig-awig yang tidak boleh dibantah.
Karena dianggap mengangkangi awig-awig dan wibawa tetua adat, ayahnya dikucilkan dari desa adat sampai batas waktu yang tidak ditentukan. Bahkan, ketika ayahnya meninggal, mayatnya tidak boleh dikubur di pekuburan desa adat, kecuali pihak keluarga bersedia mengakui kesalahan almarhum dan membayar denda yang besarnya telah ditentukan oleh awig-awig.
Demi penguburan mayat ayahnya, Darsa bersedia mengakui kesalahan ayahnya di hadapan warga dan membayar denda sesuai ketentuan. Dalam hati, Darsa tidak mengerti apa kesalahan ayahnya? Apakah hanya karena bersikap kritis terhadap awig-awig dan suatu kebijakan adat dianggap kesalahan?
Dendam tetua adat rupanya belum juga surut. Kini keluarganya kembali dikenakan sanksi adat, hanya karena melahirkan bayi kembar buncing. Sebagai seorang sarjana, Darsa merasa malu karena tidak berdaya menghadapi awig-awig desa adatnya sendiri. Ia merasa tidak mampu berbuat apa-apa untuk membenahi atau meluruskan awig-awig yang kolot dan sering kali dibengkokkan oleh tetua adat untuk kepentingannya sendiri.
Hasil paruman telah diputuskan. Luh Sarni beserta bayinya akan diasingkan di pinggiran desa dekat kuburan. Selain itu, keluarga Darsa diwajibkan menggelar upacara bersih desa. Memikirkan hal itu ia ngeri sendiri, membayangkan kedua bayinya akan hidup di kuburan selama sebulan lebih.
Tidak cara lain kecuali harus menentukan pilihan, meski berat harus dijalankan. Pagi-pagi sekali Darsa menjelaskan rencananya pada ibunya. Perempuan paruh baya itu kaget dan sedih mendengar keputusan anaknya.
“Kau tidak mau menghadapi kenyataan. Kau tahu ayahmu masih di kubur di sini dan belum di-aben?”
“Me, ini pilihan terakhir. Tidak ada jalan lain lagi. Di kota tidak ada sanksi adat yang kolot seperti ini!”
“Kalau itu kehendakmu, silakan kau berangkat sendiri. Biarlah Meme tinggal di sini merawat kuburan ayahmu. Meme masih mencintai desa ini, kau mengerti? Meme yakin suatu saat desa ini akan berubah menjadi lebih baik.”
Darsa tidak mampu berkata apa lagi. Untuk kedua kalinya ia menangis meninggalkan desa kelahirannya. Kini batinnya luka parah karena harus berpisah dengan ibunya.
Kalau keputusan awig-awig itu masih disebut kebenaran, Darsa pun telah memilih kebenarannya sendiri: mengikuti saran istrinya, hidup di kota, bila perlu melepas agama yang diwarisinya sejak lahir. Ia tidak pernah tahu, entah kapan akan kembali ke desa yang sangat dicintainya itu.
Kembar buncing: kembar laki dan perempuan. Konon, raja Bali kuno pernah memiliki anak kembar buncing, Sri Masula-Masuli. Karena diyakini telah melakukan hubungan intim selama dalam kandungan, mereka akhirnya dikawinkan dan menjadi raja-ratu yang membawa Bali ke arah kemakmuran.
Sanksi adat bagi kelahiran bayi kembar buncing telah dihapus oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Bali dalam Paswara Nomor 10/DPRD tertanggal 12 Juli 1951, yang ditandatangani oleh Ketua Dewan, I Gusti Putu Merta. Namun, sampai kini beberapa desa di pedalaman Bali masih memberlakukan sanksi adat tersebut.
sumber: smbbali, bicarakembar

Rabu, 26 Oktober 2016

Kajang

I Dewa Gede Bagus
KAJANG manut lontar Pitra puja,sawa wedana,purana tatwa dll,KAJANG punika panugrahan Btra. Siwa (secara niskala) Sang Pencipta(Kawitan sang manusa, punyan punyanan/pepohonan,buron/binatang, berdasarkan sabda, bayu, idep.
KAJANG punika sangat mebuat pisan ring pengabenan, nistaning nista,nista,madya, uttama,sami kewenangan/ mejantenan ngangge kajang,kajang punika pegangan, gambelan, alat,dasar, sarana prasarana pengembalian Sanghyang Atma ke Sang Pencipta/Sang Hyang Widi Wasa Kawitan iraga (manusa), berdasarkan sastra,iraga medwe Kawitan 4 (empat) yaitu :
1.      Bhur ( ring Swarga),Sang pencipta/Sanghyang Widi Wasa,niki kawitan kita yg pertama,kawitan asal kata dari wit/asal-usul,sane ngardi iraga kegumi,sekancan sarwa tumbuwuh ring jagat,meduluran antuk sabda bayu idep yaitu :
a)      Sabda:punyan-punyanan/tumbuh-tumbuhan.
b)      Sabda,bayu : buron/binatang.
c)      Sabda,bayu,idep : manusia itu sendiri.
Punyan-punyanan sareng buron merupakan saudara kita lahir ke bumi,makanya kita disebut mahluk yg paling sempurna,dari yg kurang sempurna,makanya kita tdk boleh memandang rendah orang lain (tat twam asi), jangankan sesama agama hindu,karena semua umat beragama didunia merupakan saudara kita,termasuk yg tdk percaya dgn agama sekalipun merupakan saudara kita.( bhineka tunggal Ika,tan hana darma mangruwo, ekam ewam adityam brahman,wasu dewam wasum bhakem dllnya,dlm kelahiran manusa kegumi itu sama, tapi belum mengenal pradaban,setelah mengenal dunialah baru mengenal yg disebut pradaban dunia,yg disebut agama,budaya dan adat istiadat.Perbedaaan itu sangatlah indah,menhormati perbedaan itulah hidup yg sebenarnya,tanpa perbedaan kita tdk bisa hidup yg disebut mahluk beragama,jgn sampai kerena perbedaan kita saling bermusuhan,apalagi tdk saling tegur sapa,klu ini terjadi amatlah rendah/nistanya hidup ini,atau sama dgn menistakan diri sendiri,jgnlah jadi orang munafik, fanatisma terlalu berlebihan tanpa dasar sastra yg pasti,apalagi membuat staittemen,kesepakatan bersama,terutama selaku Pedanda/Wiku mengeluarkan kesepakatan,bisama,mengatasnamakan golongan, kelompok,organisasi.tanpa dasar sastra yg pasti,apalagi krn emosi sesaat/kepentingan politik sesaat,yg mengakibatkan kebingungan di masyarakat itu sendiri ,krn didalam kehidupan manusia tdk ada yg eksklusif, kita akan dipandang eksklusif/berkasta dari prilaku kita sendiri,setelah kita dianggap mempunyai taraf hidup yg terpandang.Pedanda/Wiku ngemargayang keparamartan dan kepararthan,Pedanda/Wiku itu harus berdiri netral selaku pengayom umat dunia,maka dari itu tdk boleh ikut berpolitik,berorganisasi dan berbisnis (tdk mengenal A D ART dan S O P),tdk boleh provokatif, tunduk dgn umum yg salah, hanya tunduk dgn Peguron-guron,Nabe dan sastra,klu rel/norma niki dilanggar dunia jadi rusak,paceklik,panas,terjadilah degradasi moral.Ayuwa kita sang Wiku ngeruruh kepatutan tanpa dasar sastra,yan hana Wiku ngeruruh kepatutan tanpa dasar sastra,Wiku-Wikuan ika ngaran = ATHEIS /Ayuwa kita sang wiku salisuh,yan hana wiku salisuh sanggar ikang rat.
2.      Bwah ( ring Dalem),inilah kawitan kita setelah sanghyang Widhi,mawinan yan mendak kawitan purusa perdana mangdane pendak ring dalem(manut lontar tutur Anda tattwa jelas tersurat:yan ngwangun kemimitaning manusa wenang mendak kawitan ring Dalem Puri genahnya).Hidup itu selalu berkembang terjadi perobahan,ingat perobahan perlu,tapi harus berdasarkan sastra,nah mangkin mendekati asing-asing desa pekraman medwe Dalem,Dalem nika pateh tan wenten Dalem Wangsa tertentu,sane bersemayam/melinggih saktinya Sanghyang Widi(Btra Siwa) yaitu Btri.Durga,Btri Durga itu tiada lain yaitu Btri.Uma,Rabin Btra.Siwa.
3.      Swah ( ring Rong tiga),linggih kawitan Siwa guru, Btra,hyang guru, dasarnya Brahma,Wisnu,Siwa/Paraatma,Siwatma,Sanghyang Susudatma/purusa, perdana,bancih. (pedagingan tetiga,barak,selem,putih)
4.      Kawitan secara sekala,sane ngardi iraga bapa lan imeme sane ngelekadan iraga(yg melahirkan),wenten tutur ten ada manusa sakti didunia, diceritakan Btra.Brahma ngedengan(memperlihatkan)kesaktian mekeber setegeh-tegehne,ten bakat muncuk langit, artinya diatas langit ada langit,raris Btra,Wisnu memperlihatkan kesaktian turun seturunnya ten bakat dasar tanah,raris Sang Suyasa metaken ring gurunne, man sira sane lebih tinggi ?,jawabannya,sing ada tegehan Ibapa Imeme sane ngelekadan cening.(tutur dialog Sang Suyasa sareng gurune Ida Rsi Darma Kerti).
Pelaksanayang atiwa - tiwa/pengabenan wenten pah 6 (nenem).
a)      Pitra yadnya.
b)      Pitra tarpana,
c)      Nyuwasta digeni
d)     Pengawak prenawa.
e)      Sawa preteka. Dan
f)       Sawa wedana.
Niki patut/wenang sami nganggen kajang.

KAJANG,yan ten ngangge Kajeng disebut samen,KAJANG punika akehne pah/macem 9 lwirnya :
a)      Kajang tapakan pelinggihan Sang Hyang Atma.
b)      Kajang kulit/wangsa,bangsa.
c)      Kajang Jagra Pada (penyadaran Sang Hyang Atma menuju kekamoksan.
d)     Kajang Parimana pemargin Sang Hyang Atma ke Nirbana/swarga/kembali ke Sang pencipta.
e)      Kajang Sari kesurat dasak sare dasar manusa.
f)       Kajang kawitan,pengembalian Sang Hyang atma kekawitan yaitu Sang Pencipta(Sang Hyang Widi wasa).
g)      Kajang guungan Sang Hyang Atma/umah sh.Atma.
h)      Kajang Kwangen medaging pis bolong 47 keteng.
i)        Kajang pengawak simbul Sang Hyang Atma ngangge pipis bolong 125 keteng.
Niki KAJANG sane jangkep manut lontar Pitra puja tur lontar Sawa Wedana,niki sarat ngangge kajang, sarat kedua tirtha pengentas/penglambung,sarat ketiga tirta penglepas,medaging kitir 2,kesurat Ong Ung Mang Ang,raris medaging arca dana mesurat manut kulit / Wangsa, kertas kitir sareng Arca dana kesurat ring kertas daluwang atawi kertas Ulantaga,tan kwenangan ngangge kertas biasa,tur medaging pesikepan sang lampus kesurat Ong I A Ka Sa Ma Re La We Ye Ung medasar tembaga.
Ring masyarakat akeh sane salah informasi indik Kawitan nikayang kangin,yg dimaksud kangin nika ke Btra.Surya/Btra,Siwa,(ke Sang Pencipta/Ida Sanghyang Widi Wasa) ),yan kangin/pusat di Bali nika lelintihan atawi keturunan,treh,karana iraga ring Bali akehan saking Jawi ( Majapahit), Majapahit rauh iraga saking Sumatra (Kerajaan Sriwijaya),saking Sriwijaya rauh iraga saking Kalimantan ( Kutai kerajaan Mulawarman ), Mulawarman rauh iraga saking Krakatau,Krakatau rauh iraga saking India.
Sane wenang nyurat KAJANG tur ngarga TIRTHA PENGENTAS, niki ke surat/kearga ring hari H,ten dados inepan, wantah Sang Meraga Putus tur sang me tri jati medwe hak tur wewenang,Ida sane nyurat,Ida sane ngurip (masupati ) tur Ida sane pacang ngatepan/menyatukan kajang punika kejasad/kewatangan manut Weda Pitra Puja,tur kelaksanayang ngajum sawa, kesuksmane selobang jarum sareng akeh sane memberikan pemargi ke sang lampus,(tusuk-tusuk sareng jarum),mangda ipun polih genah sane becik manut karma asuba karma,Yan Mangku/anak welaka tan kewenangan nyurat KAJANG, santukan sangat sakral pigunan ipun, santukan kantun leteh,.(bisa teken dadi mesiosan),sampunan pisan melaksana niki karena kepentingan pribadi,bisnis semata,karana niki panugrahan yg sangat sakral, mangda nenten tren yg salah tetep dilaksanakan karena kepentingan,ila-ila dahat,gumi jadi sanggar,tur Sang Hyang Atma sulit mendapatkan tempat yg layak,yan ipun mewali ke marca pada manumadi akan ngusak asik ring keluarga.
Dumadak napi sane dartayang puniki wenten pikenehne, agar Agama Hindu kedepan semakin ajeg tur lestari berdasarkan Sastra, ten Agama mula napet, mula kene mula keto, cara dini cara ditu.Mawinan tugas Ratu Pedanda /Wiku melakukan perobahan/memperbaiki berdasarkan Sastra (Sang Hyang Aji Saraswati ), manut lontar Adi Parwa tutur dialog Betara Kresna sareng Sang Arjuna, melakukan penyempurnaan utk dimasa yg akan dtg, jangan sampai yg salah dimasa lalu dikultuskan,menjadi pembiaran.
Yan ten manut durusan anggen rekomendasi keputusan,yan sampun manut durusan anggen keputusan,Agama nika kebenaran yg relatif,toleran, fleksibel dan universal,ten ada kekakuan,durus mengkritisi asal berestetika dan beretika,bukan karna sentimen,dendam tanpa dasar.


Rahajeng Rahayu !










Sumber : Facebook  Ida Pedanda Gede Kaca






Senin, 29 Agustus 2016

Nothing last forever

I Dewa Gede Bagus
Para ahli memperkirakan bila sebuah kaset diputar 100 kali seth, maka kualitas suaranya akan berkurang
setelah berumur sepuluh tahun.
Rata-rata sepatu lari bisa tahan dipakai pelari di medan standar sekitar 500-800 km.
Sebatang pensil bisa dipake menulis sebuah garis sepanjang 48 km.
Kebanyakan pulpen bisa di pake untuk menggaris garis sepanjang 1200 hingga 2300 m.
Sebuah lampu pijar 100 watt akan bertahan sekitar 750 jam, dan yg 25 watt bisa tahan sekitar 2500 jam.

Pria paling panjang umur yang tercatat di Alkitab adalah Metuslah hingga 969 th.
Sedangkan menurut penelitian modern, umur maksimal manusia hanya mencapai 113 hingga 214 th.
Manusia tertua yang pernah tercatat dalam rekor Guiness World Record berusia 122 th.
Rata-rata umur manusia seperti kita yang hidup di jaman sekarang ini berkisar antara 70-80 th.
Nah sekarang pertanyaan bagi kita: "Berapa usia kita sekarang dan kira-kira berapa lama lagi sisa hidup kita di bumi ini?
Meski kita tidak pernah bisa menentukan umur hidup manusia,namun hendaknya fakta di atas memberi kita kesadaran akan betapa fananya keidupan di bumi ini.

Umur tubuh kita ada batasnya.
Hidup di bumi ini bukanlah untuk selama-lamanya.
Akan tiba waktunya ketika kita harus meninggalkan hidup kita di bumi untuk masuk ke kehidupan yang jauh lebih indah di sorga.
Namun,selagi kita hidup di dunia ini,sudahkah kita memberi arti bagi Tuhan dan sesama?
Seperi sepatu pelari yang aus karena dipakai menempuh jarak semaksimal yang bisa ditempuhnya,sudahkah kita mengijinkan Tuhan memakai kita secara maksimal sebagai perpanjangan tangan-Nya?
Ibarat bola lampu yang akan terus menyala memberi terang sampe putus kawatnya,sudahkah kita memberi dampak positif bagi sesama dan membuat hidup orang lain lebih berarti?
Kalau kita masih di beri nafas hingga hari ini,itu berarti belom terlambat untuk menjadikan hidup ini lebih berarti, minimal buat orang-orang di sekitar kita.

Tetapi jika aku harus hidup di dunia ini, itu berarti bagiku bekerja memberi buah. Jadi mana yang harus kupilih, aku tidak tahu.

KUNCI UNTUK MEMBUAT HIDUP ANDA LEBIH BAIK

I Dewa Gede Bagus

Kunci membuat hidup lebih baik terdiri atas :


A. Personality,
B. Community 
C. Life

A.  PERSONALITY
1.   Jangan membandingkan hidup Anda dengan orang lain karena Anda tidak pernah tahu apa yang telah mereka lalui.
2.   Jangan berpikir negatif akan hal-hal yang berada diluar kendali Anda, melainkan salurkan energi Anda menuju kehidupan yang dijalani saat ini, secara positif
3.    Jangan bekerja terlalu keras, jangan lewati batasan Anda.
4.   Jangan memaksa diri Anda untuk selalu perfect, tidak ada satu orang pun yang sempurna.
5.    Jangan membuang waktu Anda yang berharga untuk gosip.
6.    Bermimpilah saat anda bangun (bukan saat tertidur).
7.     Iri hati membuang-buang waktu, Anda sudah memiliki semua kebutuhan Anda.
8.   Lupakan masa lalu. Jangan mengungkit kesalahan pasangan Anda di masa lalu. Hal itu akan merusak kebahagiaan Anda saat ini.
9.    Hidup terlalu singkat untuk membenci siapapun itu. Jangan membenci.
10.Berdamailah dengan masa lalu Anda agar hal tersebut tidak menganggu masa ini.
11.Tidak ada seorang pun yang bertanggung jawab atas kebahagiaan Anda kecuali Anda.
12.Sadari bahwa hidup adalah sekolah, dan Anda berada di sini sebagai pelajar. Masalah adalah bagian daripada kurikulum yang datang dan pergi seperti kelas aljabar (matematika) tetapi, pelajaran yang Anda dapat bertahan seumur hidup.
13. Senyumlah dan tertawalah.
14.Anda tidak dapat selalu menang dalam perbedaan pendapat. Belajarlah menerima kekalahan.

B.  COMMUNITY

15. Hubungi keluarga Anda sesering mungkin
16.Setiap hari berikan sesuatu yang baik kepada orang lain.
17. Ampuni setiap orang untuk segala hal
18.Habiskan waktu dengan orang-orang di atas umur 70   dan di bawah 6 tahun.
19.Coba untuk membuat paling sedikit 3 orang tersenyum setiap hari.
20. Apa yang orang lain pikirkan tentang Anda bukanlah urusan Anda.
 21.  Pekerjaan Anda tidak akan menjaga Anda di saat Anda sakit, tetapi keluarga dan teman Anda. Tetaplah berhubungan baik

C. LIFE


22.Jadikan Tuhan sebagai yang pertama dalam setiap pikiran, perkataan, dan  perbuatan Anda.
23.Tuhan menyembuhkan segala sesuatu.
24.Lakukan hal yang benar.
25.Sebaik/ seburuk apapun sebuah situasi, hal tersebut akan berubah.
26.Tidak peduli bagaimana perasaan Anda, bangun, berpakaian, dan keluarlah!.
27.Yang terbaik belumlah tiba.
28.Buang segala sesuatu yang tidak berguna, tidak indah, atau mendukakan.
29.Ketika Anda bangun di pagi hari, berterima kasihlah pada Tuhan untuk itu.
30.Jika Anda mengenal Tuhan, Anda akan selalu bersukacita. So, be happy.

Mati tdk menunnggu Tua....Mati tidak menunggu sakit...nikmati hidup....sebelum hidup tidak bisa di nikmati

Sabtu, 27 Agustus 2016

MEMAKNAI GALUNGAN

I Dewa Gede Bagus
Om Swastiastu.
Telah banyak para tokoh agama Hindu yang memberikan makna Hari suci Galungan itu, dengan segala argumentasinya dan semuanya kelihatan benar. Namaun pada kesempatan ini saya ingin menuliskan pengalaman yang saya pernah rasakan tentang Galungan.

Pada suatu ketika saya berjalan melintasi tepian sungai, nah disitu ada anak-anak muda berkumpul kurang lebih 5 orang, rasanya mereka sedang memancing ikan di sungai (penghobi mancing). Sedang asiknya mereka mancing, lalu ada temannya melintas di kejauhan kurang lebih 5 meter dari tempat mereka mancing, temannya itu menyapa kelompok pemancing ini dengan kata-kata guyon dan nyindir, antara lain:

JANGAN DIHABISIN IKANNYA DIPANCING BIAR ADA DIPAKAI GALUNGAN.....!!!!!! antara lain itu yang dikatakan, lalu si kelompok pemancing menjawab begini; YA KALAU HABIS IKANNYA DISINI, NANTI UNTUK GALUNGAN BELI SAJA DAGING BABI DI PASAR......!!!!!

Begitulah guyonan mereka. Selanjutnya diantara si pemancing terjadi diskusi kecil tentang pemaknaan Galungan atas kata guyonan temannya tadi, antara lain; Satu orang bertanya " Apa sih sebenarnya makna Galungan itu? Teman-temannya menjawab sesuai dengan apa yang mereka tau, diantara jawaban yang ada, terdengar salah satu mengatakan; Galungan adalah Hari Suci untuk merayakan kemenangan Dharma melawan Adharma. Kemudian ditanyakan lagi oleh yg satu lagi; Jadi Dharma dg Adharma itu berperang? Dimana medannya? Kalau Adharma kalah, apa kekalahannya itu menyerah apa kalah mati? kalau kalah menyerah, dimana wilayah kekalahan adharma yang menjadi kekuasaan dharma atas kemenangannya? Kalau adharma itu kalah mati, dimana mayat adharma itu dikubur? Berdasarkan pertanyaan inilah para pemancing itu menjadikan tempat mancingnya sebagai arena diskusi.

Pada waktu itu kebetulan saya lewat disampingnya, disitulah saya mendengar diskusi mereka, dan saya sangat terketuk hati saya ingin menjawab, namun mereka tidak bertanya ke saya, makanya saya diam saja membiarkan mereka diskusi sepuasnya demi meresapnya inti pemaknaan Galungan yang sebenarnya, dan saya melanjutkan perjalanan pulang. Nah sesampainya saya di rumah, tidak berselang beberapa menit, ternyata mereka si pemancing itu semua datang ke rumah saya. Setelah saya persilahkan duduk, lalu mereka mengulangi pertanyaan yang menjadi perdebatan kusir tadinya. Meraka sebenarnya tidak salah memaknai sesuai dengan apa yang mereka tau, sebab memaknai atau mempelajari ajaran agama Hindu di Bali itu secara berjenjang sesuai dengan kemampuan yang dimiliki.

Seperti contoh: Ada anak 3 orang, satu orang baru SD, yang satu sudah SMA dan yang satu lagi sudah sarjana Ilmu Matematika. Lalu ada pertanyaan pada mereka; Coba kalian jawab: 3 X 3 =....? Anak SD menjawab dengan mengambil batu dan menghitungnya, lalu dia dapat jawaban 9. Kemuadian yang SMA. menghitung dengan mengambil kertas orak-orek, jawabannya juga 9. Dia yang sarjana matematika langsung menjawab 9. Pertanyaannya adalah; apakan sembilan dari masing-masing mereka itu berbeda nilainya? Saya kira tidak beda, hanya prosesnya yang berbeda. Demikian pula tentang defenisi Galungan.

Namun atas pertanyaan si pemancing perlu di berikan jawaban yang benar, antara lain. Dharma dan adharma itu tidak berperang kayak bertempur, namun keduanya itu saling mempengaruhi, yang mana kuat pengaruhnya diantara keduanya itu, kalau Dharma yang lebih kuat maka dharma dikatakan menang dalam kontek mempengaruhi adharma menjadi dharma, ini yang disebut Galungan. Sehingga tidak ada mayat si adharma dalam hal saling mempengaruhi, sebab itu merupakan sifat, karakter manusia. Lalu dimana arenanya? Arenanya ada di dalam diri manusia, jadi sifat saling mempengaruhi dari dharma dg adharma itu hanya ada di dalam diri manusia. Bila manusia itu tau dan sadar akan memaknai hidup ini maka mereka berusaha memenangkan dharma didalam dirinya. Jadi Galungan itu didefinisikan sebagai kemenangan Dharma di dalam diri manusia sendiri, maka mereka akan mewujud nyatakan kegembiraan mereka atas kemenangan itu dengan cara membuat sesaji, membuat penjor, bersembahyang ke pura, dan lain sebagainya sebagai gambaran kegembiraan mereka.

Jadi kemeriahan perayaan galungan dengan penjor yang mahal-mahal, semestinya didasari oleh kemampuan kita mempengaruhi sifat adharma dengan sifat dharma di dalam kehidupan ini, dengan cara belajar agama memahami ajaran agama dan yang terpenting mempraktikan ajaran agama tersebut, nah itu baru lengkap. Akhirnya dengan argumentasi saya seperti itu para pemancing sedikit menyadari apa yang mereka harus lakukan untuk memaknai hidup ini.

Demikian cerita pendek ini saya tulis disini sebagai sebuah yadnya bagi saudara kita yang mau dan memerlukannya. Cerita ini tidak saya gunakan sebagai bahan diskusi, sekali lagi sebagai ungkapan rasa cinta kepada semua teman-teman.

OM SANTIH, SANTIH, SANTIH OM.


Sumber : Facebook Ida Pedanda Gede Made Gunung

Selasa, 23 Agustus 2016

KITAB SUCI VEDA ITU ASLI WAHYU TUHAN

I Dewa Gede Bagus
OM SWASTIASTU. OM AWIGNAMASTU.
Selamat bertemu lagi teman-teman, semoga semuanya dalam keadaan sehat-sehat. Saya punya cerita dari pengalaman sendiri di rumah. Kurang lebih seminggu yang lalu saya membaca buku 108 Mutiara Veda, yang ditulis oleh Dr.Somvir. Satu pasal saya baca saya lewati, satu pasal saya lewati, artinya sepintas - sepintas saja, namun disaat itu tertarik perhatian saya pada setiap terjemahannya dari setiap pasal, yaitu; tidak satupun terjemahannya berbunyi; " WAHAI KAU UMAT HINDU...." Yang ada adalah; " WAHAI KAU UMAT MANUSIA........" Jadi saya berpikir, kenapa tidak menunjuk WAHAI KAU UMAT HINDU YA.....????? Sedangkan kitab Suci Veda itu adalah kitab suci penganut agama Hindu, artinya Veda itu adalah hanya untuk umat Hindu saja demikian pikiran saya. Tetapi setelah lama saya berpikir seperti itu, lalu muncul dipikiran saya bahwa kalau demikian berarti Veda itu ajarannya untuk umat manusia, kalau kita melihat dari terjemahannya. Memang inilah salah satu ciri dari Veda itu adalah wahyu Tuhan, tidak membedakan siapa dia.
Dan adalagi saya ingat waktu masih kuliah dulu, dosen saya pernah saya dengar mengatakan bahwa Veda itu adalah sumber dari segala sumber ilmu. Kalau begitu berarti beliau-beliau atau mereka- mereka yang mempelajari ilmu itu berarti boleh dikatakan sudah mempelajari Veda, itu adalah anggapan saya.
Selain dari pada itu, saya juga merasakan bahwa, Veda memiliki sifat penyebaran yang amat istimewa, yaitu; MENGAYOMI, MENGANGKAT DAN MEMAKNAI BUDAYA LOKAL. Artinya, dimana ajaran Veda itu dianut, akan selalu mengayomi, mengangkat dan memaknai budaya lokal. Veda tidak merusak apa lagi menghancurkan budaya lokal, ini salah satu yang amat penting bagi saya memberikan petunjuk bahwa Veda itu asli wahyu dari Tuhan, sebab Tuhan menciptakan semuanya maka ajaran Tuhan itu mengayomi setiap ciptaannya.
Salah satu contoh; didalam salah satu pasal Yajur Veda ada menuliskan; ..."Vayur anilam amertam athedam basmantam sariram"......... terjemahannya saya baca; "Wahaikau manusia setelah rokhmu meninggalkan jasadmu yang terbentuk dari panca maha Bhuta, secepatnya jasadmu dijadikan abu, rokh akan mendapatkan moksa." Demikian kurang lebihnya.
Maka dari itulah setiap umat Hindu yang meninggal harus diaben, jadi tidak dikubur. Namun di Bali ada penguburan sementara umat hindu yang telah meninggal. Sistem penguburan mayat di Bali telah ada sejak jaman batu yang disebut jaman neolitium, dengan peninggalannya kita kenal dengan nama sarkopagus, itu budaya lokal namun hal itu tidak dirusak bahkan diayomi dan dimaknai, makanya umat Hindu di Bali yang meninggal , ada yang di aben langsung, ada adapula yang di kubur dalam jangka waktu tertentu baru diaben. kesimpulannya; MENINGGAL ABEN, DAN MENINGGAL KUBUR KEMUDIAN DIABEN, akhirnya semua diaben. Dengan demikian di Bali setiap Desa Pekraman memiliki Setra, yang dari jaman kejaman tidak pernah diperluas, sebab tidak ada mayat yang dikubur terus.
Banyak lagi konsep-konsep kehidupan yang damai termuat di dalam ajaran Veda, namun pada kesempatan ini hanya itu yang tersirat dalam pikiran saya setelah membaca buku 108 Mutiara Veda dari Dr.Somvir.
Terima kasih atas perhatian teman-teman yang membaca tulisan ini. Sekian.
Om Santhi,Santhi, Santhi, Om.

Sumber : Facebook Ida Pedanda Gede Made Gunung

SESUNGGUHNYA SEMUA INI ADALAH TITIPAN DARI HYANG KUASA

I Dewa Gede Bagus
Om Swastiastu.
Jangan henti-hentinya memohon Petunjuk, Bimbingan dan Tuntunan ke hadapan hyang Maha Kuasa, agar kita dapat mengarungi hidup ini di jalur yang benar, sehingga kita dapat berlabuh di pulau harapan kita sekaligus sebagai pulau asal kita.
Banyak sekali contoh yang dapat kita lihat dalam kehidupan ini di masyarakat, seperti; Dulunya dia seorang yang amat ditakuti di masyarakat karena badannya kekar, lengannya besar-besar dan sering bertindak arogansi. Namun tidak lebih dari 15 tahun berlalu, dia menjadi renta. Jangankan memukul orang lagi, jalan saja sudah pakai tongkat. Dulu dia sangat disegani karena kekayaannya berlimpah, namun pelitnya tak ketulungan. Namun tidak lebih dari 15 th berlalu dia menjadi orang sakit-sakitan dan tidak bisa makan nasi (makanan mewah), akhirnya dia hanya bisa makan sepotong kentang dan sayur rebus tanpa bumbu. Dulu dia adalah seorang penguasa hebat, maka banyak orang takut sama dia, karena tindakannya sewenang-wenang. Namun hal itu hanya berlangsung 10 tahun, setelah itu dia tidak bisa diterima di lingkungannya termasuk dalam lingkungan keluarganya.
Akhirnya saya pernah membaca di dalam kitab Sarasamuscara Bab, MERTYU. Disitu tertera disalah satu pasal slokanya, sbb;
WALAUPUN KAU DAPAT MENJADI PENGUASA DI BUMI YANG BULAT INI, DENGAN KEKAYAAN YANG BERLIMPAH, DAN DI DAMPINGI ISTRI CANTI-CANTIK SELUSIN, MAKA PADA SAATNYA NANTI DATANG KEMATIAN YANG MENJEMPUTMU, KEKUASAAN, HARTA BENDA, DAN ISTRI CANTIK TIDAK BISA MENUNDANYA/MENOLONG DIRIMU.
Menyimak isi dari bacaan tersebut di atas maka kita di suruh HARUS INGAT DENGAN KEMATIAN ITU ADALAH TEMAN SETIA DARI KEHIDUPAN KITA. Walaupun kedatangannya tidak kita ketahui secara pasti, namun yang pasti dia (kematian) itu pasti akan datang. Setelah dia datang semua yang kita agung-agungkan semasih hidup seperti kekayaan, kekuasaan, kemewahan, semuanya tidak ada artinya bagi kita. Semua akan ditinggal disini, termasuk badan yang kita manfaatkan setiap saat diwaktu masih hidup akan ditinggalkan disini.
Mereka yang bijaksana mengatakan bahwa; Yang kita bisa bawa pulang ke alam sana hanyalah Karma. Apa itu karma baik (subhakarma) atau karma buruk (asubhakarma). Lalu apa kaitannya dengan kekusaan, kekayaan, dan badan sehat kuat? Sesungguhnya itu adalah sebuah titipan dari Hyang Kuasa untuk kita sampaikan kepada saudara kita yang memerlukan dalam kehidupan disini.
Contoh; Bagi mereka yang dalam hidupnya di sini menjadi penguasa, itu titipan dari Tuhan agar mereka menjalankan swadharmanya sebagai pelayan rakyat dan dapat membahagiakan rakyat. Kalau mereka sadar dan melakukan hal seperti itu, maka mereka sudah berjalan di atas Subhakarma, andai kata mereka tidak menjalankan tugas seperti itu, mereka berjalan diatas jalan Asubhakarma. Inilah yang kan mereka bawa nantinya setelah kematian itu datang menjemputnya.
Demikian pula kekayaan, semuanya itu adalah titipan sekaligus kesempatan kita untuk meraih Subhakarma, kalau kekayaan itu dimanfaatkan untuk membantu saudara kita yang sangat memerlukan atau digunakan untuk kepentingan orang banyak. Dengan sendirinya semuanya itu didasari oleh logika pemanfaatan.
BILA ADA SEORANG REMAJA JIJIK MELIHAT ORANG TUA RENTA, MAKA ORANG TERSEBUT TIDAK SADAR BAHWA DIRINYA AKAN SEPERTI ITU NANTINYA, KARENA HIDUPNYA DITEMANI OLEH KESOMBONGAN.
Keremajaan itu sifatnya hanya sementara, maka gunakanlah keremajaan itu untuk meraih Subhakarma. Demikian pula mereka yang mendapat titipan kepintaran, bagilah kepintaran itu untuk mereka yang memerlukan, sehingga dari kepintaran kita dapat Subhakarma.
Jadi apa yang kita dapati dalam hidup ini adalah sarana untuk mendapatkan Subhakarma sebagai bekal mudik nanti. Demikian sebaliknya bila kita tidak merasakan itu sebuah titipan dan merasa itu milik kita maka semuanya itu merupakan sarana untuk mendapatkan Asubhakarma, juga sebagai bekal mudik nanti.
Demikianlah tulisan ini saya buat agar dapat digunakan sebagai bahan renungan, di dalam kita melakoni hidup ini. Terima kasih atas perhatian saudara-saudara.
Om Santih, Santih, Santih, Om

Sumber : Facebook Ida Pedanda Gede Made Gunung

Rabu, 10 Agustus 2016

Mahasiswa Undiknas KKN di Desa Nyalian

I Dewa Gede Bagus


Pendidikan Nasional (Undiknas) melaksanakan salah satu bentuk kegiatan pengabdian kepada masyarakat yakni Kuliah Kerja Nyata (KKN) di Desa Nyalian Kecamatan Banjarangkan Kabupaten Klungkung.Kegiatan itu berlangsung mulai Mei s.d. Agustus 2016 yang diikuti oleh kurang lebih 35 mahasiswa yang terbagi dalam dua gugus yakni Gugus Dusun Pekandelan kelas pagi, dan Gugus Dusun Tegalwangi untuk kelas sore.

Pada Sabtu, 11 Juni 2016, mahasiswa KKN Undiknas mengadakan program desa senam osteoporosis, pemeriksaan kesehatan tulang dan bakti sosial di Lapangan Desa Nyalian yang terletak di Dusun Pekandelan.

Tujuan dari kegiatan ini adalah untuk meningkatkan kesehatan tulang dan pencegahan penyakit tulang bagi masyarakat Desa Nyalian. Acara ini dibimbing oleh Perwatusi Bali sebagai narasumber dan instruktur senam serta tim medis yang berasal dari RSU Manuaba untuk pemeriksaan kesehatan tulang.
Kegiatan ini terselanggara berkat kerja sama berbagai belah pihak yaitu Perwatusi Bali, RSU Manuaba, Pemerintah Kabupaten Klungkung, Dinas Kesehatan Klungkung, Puskesmas Banjarangkan, Pemerintah Desa Nyalian, SDN 1, SDN 2, SDN 3 Nyalian, PKK seDesa Nyalian yang turut serta dalam mengikuti kegiatan yang diadakan oleh Panitia KKN.

Acara ini berlangsung sukses karena antusias masyarakat dan siswa-siswi se-Desa Nyalian sangat besar dalam menyemarakkan acara. Terlebih lagi acara ini dihadiri langsung rombongan Wakil Bupati Klungkung serta adanya hadiah dari pihak narasumber (Perwatusi Bali) untuk 30 peserta terbaik yang mampu mengikuti gerakan instruktur. Ukuran sukses acara ini adalah jumlah peserta yang hadir melebihi ekspektasi panitia. Senam osteoporosis yang diharapkan 100 peserta, yang hadir sekitar 150 orang. Sementara untuk kegiatan pemeriksaan tulang dan bakti sosial, ekspektasi panitia adalah 30 peserta namun yang mengikuti kegiatan hingga 65 peserta yang sebagian besar lansia.

Ini  adalah program desa pertama yang dilaksanakan oleh mahasiswa KKN di Desa Nyalian yang mendapat pujian dari Kepala Desa Nyalian serta narasumber. Setelah kegiatan ini masih banyak program desa yang lebih menarik yang akan dilaksanakan di Desa Nyalian.

Sumber : http://undiknas.ac.id