Selasa, 16 September 2008

SEKILAS TENTANG TRISANDYA

I Dewa Gede Bagus
Setelah sekian lama Trisandya diperdebatkan dalam HD-Net ini, khususnya mengenai bait yang kedua yang telah dipengal penterjemahannya yaitu : Tuhan yang Tak terlahirkan, Tuhan tidak ternodai, Tuhan tidak terpikirkan dan akhirnya cendrung dipelesetkan : “TUHAN TIDAK ADA” bersama ini perkenankanlah mengulas sedikit tentang Trisandya, yang sangat kental dengan hidup dan kehidupan kita khususnya yang beragama Hindu, dimana pemujaan Tuhan dengan kata-kata umunya dilaksanakan dengan sembahyang tiap-tiap hari, atau lazimnya dilakukan dengan sembahyang tigakali sehari yang sering disebut dengan istilah “PUJA TRISANDYA” Three = Tiga (3) Sandya = Kala / waktu. Jadi pemujaan yang dilakukan tiga kali sehari dalam kurun waktu tertentu, dipagi hari, siang hari dan sore hari.

Tehknis Puja Trisandya serta Tecks aslinya Mangku akan jelaskan pada kesempatan lain. Mangku akan menjelaskan secara universal purpose dari Trisandya itu mengandung tiga tujuan utama yang terdiri dari :

Bait Pertama dan kedua adalah merupakan ”PENGAJUM” atau memulyakan Bait ke III dan ke IV adalah merupakan ”STATEMENT” pernyataan diri Bait ke V dan ke VI merupakan ”HOPEFULLY” , khususnya permohonan maaf.
Mari kita mulai dari susunan mantram yang ada dalam Puja Trisandya.

Puja trisandya terdiri dari enam kumpulan mantram, mantram pertama disebut Gayatri mantram. Ritmenya-pun disebut dengan Gayatri, sedangkan irama-irama lainya misalnya Anustup, tristup, Canustup, Pragatah, Jagati, sedangka di Bali yang sering di iramakan oleh sulinggih adalah dengan Reng, Ritme Sloka (anak anak sekolah ) dan Cruti perhatikan di Bali TV bait I & II. agak beda dengan bait ke III dan seterusnya

1. Mantram Pertama Didalam Rg Veda III.62.10. Kata Bhur, Bvah, Svaha, tidak ada pada mantram ini, tambahan Bhur Bvah svaha ini didapatkan pada Yayur Veda Putih 36.3.

Gayatri Mantram adalah satu satunya mantram yang sering dilontarkan oleh Ide sang sulinggih, sedangkan yang lainnya adalah merupakan puja stava berupa sloka.
Gayatri mantram sering disebutkan sebagai ibu dari semua mantram, atau yang paling mulya, dibawah ini Mangku cuplikan statementnya yang berbunyi sebagai berikut:

”One reason why the Gayatri is considered to be the most representative prayer in the Vedas is that cavable of possessing “dhi” higher intelligence which brings him knowledge, material and transcendental. What the eye is to the body “dhi” or intelligence is to the mind

Wijaksara Om adalah hurup atau prenawa suci dalam agama Hindu, dengan Om seorang brahmana mulai mengucapkan “SEMOGA SAYA SAMPAI PADA BRAHMAN” Savitar Tuhan yang maha mulia, kemuliaan sumber dari cahaya cemerlang marilah kita memusatkan pikiran kepada sumber cahaya, semoga ia memberi semangat.

2. Sloka yang kedua.
Dalam sloka ini pemuja memuja tuhan seluruh sekalian alam, Tuhan suci tidak ternoda, Ia hanya tunggal tidak ada yang kedua. Sloka ini adalah satu dari suatu rangkaian sloka yg panjang disebut dengan Catur Veda Sirah.
Ini adalah salinan dari veda Narayanad upanisad, sebuah upanisad kecil. Supaya tidak penasaran Arti dari Bait ke II secara letterlijeknya adalah sebagai berikut.

Tuhan hanya ini, semua yang telah ada, dan yang akan ada, bebas dari noda, Bebas dari kotoran, bebas dari perubahan, tak dapat digambarkan yang maha suci Tuhan satu satunya tidak ada yang kedua.

3. Sloka yang ke III
Oleh Pemuja Tuhan yang tunggal, disebut dengan banyak nama, Iya disebut Siva, Mahadewa, Iswara, Prameswara, Brahman, Wisnu dan Rudra dan..... masih banyak lagi sebutan yang lainya.

4. Sloka yan ke IV. (statement )
Pemuja mengatakan pengakuan dirinya serba kurang, serba hina, serba lemah, Hina lahir dan bathin

5. Sloka yang ke V. ( Permohonan ampun ) Dalam sloka ini atas dosa, dosa, kekurangan dsbnya, pemohon memohonkan agar dilindungi dan dibersihkan atas segala noda.

6. Sloka yang ke VI ( Permohonan ampun dari dosa) Dosa yang keluar dari karya yang dilakukan, dari perkataan yang dilontarkan dan dari pemikiran memohon kepada Tuhan untuk diampuni.



Senin, 15 September 2008

KAMA DAN SMARA RATIH

I Dewa Gede Bagus

KEDUDUKAN Kama-Ratih di kerajaan Indraloka tidaklah ting­gi. Dalam bahasa sekarang bisa disebutmenengahke bawah. Kare­na itu, suami-istri itu bias disuruh­-suruh oleh dewa-dewa atasannya. Jenis suruhan tentu disesuaikan dengan bidang keahliannya, yaitu asmara.
Misalnya, ketika Dewi Uma sangat merindukan suaminya, Shiwa, yang sedang bertapa, ia menyuruh Dewa Kama untuk melakukan suatu mission impossible. Mis­inya adalah membuat Shiwa merindukan istrinya, sehingga ia pulang. Cara mem­buatnya rindu adalah dengan membang­kitkan hasrat birahi asmaranya. Uma tidak perlu menjelaskan bagaimana car­anya. ltu memang sudah pekerjaan sehari-hari Kama. Tapi karena yang akan digarap adalah Shiwa, dewa tertinggi, maka peker­jaan kali ini sangat berisiko. Kama harus ekstra hati-hati. Ia harus mengerahkan segala kemampuan dan intuisi, guna men­gantisipasi segala kemungkinan. Dan me­mang begitu pula pesan istrinya, Ratih, ketika melepas keberangkatan Kama.
“Hati-hatilah, Suamiku! Kesalahan sekecil apa pun akan berakibat fatal. Jangan pandang sepele kemarahan Shiwa! Was­padailah mata ketiganya”!

Maka,
Kama pun berangkat dengan perasaan cemas. Sampai di tempat perta­paan Shiwa, Kama sembunyi-sembunyi tidak berani memperlihatkan dirinya di hadapan Shiwa. Kalau sampai Shiwa me­lihat wajahnya, beliau akan langsung tahu apa maksudnya. Dan itu berarti kegagalan misinya. Karena ilmu asmara yang dimil­ikinya, adalah juga pemberian Shiwa. Jadi, posisinya sungguh tidak selevel, kama tidak ingin misinya gagal. Jika itu sampai terjadi, ia tidak akan punya muka di hada­pan Dewi Uma. Kredibilitasnya akan jatuh di hadapan khalayak dewa-dewa. Ia akan lama menyalahkan diri, merasa tidak profesional.

Maka dengan sangat ekstra hati-hati, Kama menyiapkan anak panah dan perlengkapannya. Sesuai dengan prose­dur pelepasan anak panah asmara. Kama melepaskan anak panah pertamanya. Te­pat mengenai sasaran bidik. Anak panah kedua dan seterusnya juga tidak meleset sedikit pun. Kama memang master di bidangnya.

Shiwa pun membuka mata dari keterpejamannya yang dalam. Hal pertama yang diingatnya adalah istri. Hal pertama yang ia ingat ten­tang istrinya adalah kemolekan tubuh dan kecantikan wajahnya. Bersamaan dengan itu, kenangan manis persenggamaan terakhir sebelum mereka berpisah muncul perlahan-lahan endapan kenangan.
Kenangan itu menarik-narikn­ya. Dan Shiwa pun sangat merindukan is­trinya. Ia ingin segera ada di
depan istrin­ya. Ia ingin senggama-asmara badan.
Pada momen kritis itu Shiwa melihat kelebatan Kama di tempat persembuny­ian. Detik itu juga Shiwa sadar, bahwa ker­induan asmaragamanya adalah ulah Kama. Untuk apa Kama ada di sekitar pertapaannya kalau bukan niat memper­mainkan libidonya. Kurang ajar! Berani­ -beraninya anak bau kencur itu. Bahwa per­tapaannya menjadi batal, itu adalah kesalahan Kama, bukan kesalahan dirinya.
Murkalah beliau, sebelum tahu apakah kedatangan Kama murni atas kemauan sendiri, atau atas suruhan orang lain. Sudah menjadi pengetahuan umum di alam dewa­-dewa, bila Shiwa sampai murka, itu artin­ya masalah yang sangat serius. Pasti akan jatuh korban kutukan. Melihat situasi ga­wat seperti itu, dan Kama sudah tidak mungkin berkelit, ia pun pasrah.

Lututnya gemetar. Semua kariernya akan berakhir saat itu juga, di tempat itu juga. Kutukan sudah pasti akan dijatuhkan. Entah kutu­kan apa akan diterimanya, itu harus di­nanti. Adakah yang lebih menyiksa dari­pada menanti kutukan?

Api menyambar-nyambar dari mata ketiga Shiwa.
Tidak tahu bagaimana harus melukiskan kedahsyatan api itu. Kama hangus gosong terbakar menjadi debu han­ya dalam hitungan detik. Tanpa ampun. Tanpa ada faktor-faktor yang meringankan hukuman. Di hadapan Shiwa semua fak­tor memberatkan si pesakitan. Jenis ke­salahan Kama sudah masuk ke dalam extraordinary crime. Durhaka. Lancang. Berakhirkah karier Kama? Ternyata tidak. Ratih, istri Kama, tidak bisa menerima kematian suaminya tanpa jasad. Tapi ia tidak punya posisi tawar apa pun di hadapan Shiwa. Yang bisa ia lakukan, sebagai dewi bawahan, tentu hanya memohon. Sudi apalah kiranya Shiwa mencabut kutukannya,dan mengembalikan Kama seutuhnya kepada dirinya. Untuk memperkuat permohonannya ia minta rekomendasl Dewi Uma, karena beliaulah yang mengirim Kama untuk melakukan mission impossible itu. Permohonan yang disampaikannya dengan derai air mata, cukup berhasil walau tidak seratus persen. Kesimpulannya: Shiwa berkenan menghidupkan kembali Kama, dengan beberapa persyaratan. Pertama, ia akan hidup kembali tapi tidak memiliki tubuh seperti sebelumnya. Kedua ia tidak boleh tinggal di alam dewa, tapi harus hidup jauh di dunia bawah sana bergabung dengan manusia. Ketiga di dunia dimana ada kematian (mertyupada) Kama bertugas menyusup kedalam hati tiap laki-laki.

Bagaimana dengan Ratih? Agar Ratih tidak terpisah dengan suaminya, iapun lantas digeseng, “bakar”, dan diturunkan ke dunia, juga tanpa tubuh, dengan tugas menyusup ke hati tiap perempuan. Di dunia yang disebut semacam ashrama itu, keduanya tidak akan leluasa bertemu semau mereka. Mereka dipisahkan oleh tubuh laki dan badan perempuan. Mereka hanya akan bertemu bila terjadi senggama asmara antara laki dan perempuan. Itupun kalau asmaragama itu benar. Bagaimana asmaragama yang benar ? Itu masalah
Sungguh tragis nasib Kama. Ironis perjalanan hidupnya. Ia menjalani sisa hidupnya dalam penjara bernama tubuh lelaki. Han­ya sesekali ia akan bertemu dengan pasan­gannya, yang dijebloskan ke penjara tubuh perempuan.

Pertemuan itu akan berlangsung seben­tar saja. Apa boleh buat, itu semua adalah konsekwensi dari sebuah tugas yang diem­bannya sebagai dewa bawahan.

Begitulah cerita Mpu Dharmaja dalam Kakawin Smaradahana, yang berarti “dahaga
asmara”. Mpu Dharmaja barangkali terharu dengan nasib Kama. Karena itu ia, menggubah sebuah kakawin. Tentu bukan karena ingin membuat kisah tokoh-tokoh yang dikalahkan, lantas beliau mengger­akkan alat tulisnya. Sebagai pembaca kita merasa diberitahu, bahwa kemenangan­-kemenangan Shiwa terjadi dengan pengor­banan, dewa lain. Dewa yang berkorban itu, seperti Kama, pada gilirannya menunjukkan “kemenangan” dimensi lain. Cuma, sudah lama sekali, perhatian kita tertuju pada kemenangan-kemenangan, dan hampir tidak kita perhatikan yang dikalahkan.

Padahal kita bersikeras ingin mendapatkan pemahaman yang utuh.

Karena sebuah kesalahan alam atas
Kama dan Ratih diturunkan ke dunia alam bawah. Ketika keduanya dijebloskan ke dalam kerangkeng tubuh lelaki dan badan perempuan, itu adalah konswensi lanjutan dari kesalahan tadi. Ketika keduanya bertemu dalam upacara asmaragama suami dan isteri, itu adalah konskwensi lebih lanjut lagi. Tapi tunggu dulu, ketika kemudian lahir bayi, masihkah itu kelanjutan dari kesalahan di alam atas itu ?

Saya tidak berani meladeni pikiran sendiri, bahwa semua kita ini adalah rentetan terujung dari sebuah lingkaran yang titik awalnya adalah kesalahan. Dan dengan meneruskan kehidupan ini, kita akan membuat lingkaran-lingkaran kesalahan baru. Siapakah kita ketika sedang berhadapan dengan Kakawin Smaradahana?

SMARA RATIH, yang tanpa mengembara di dunia dari hati ke hati. Di setiap persinggahan hati mereka bekerja, membangkitkan rindu, mendorong-dorong agar terja­di pertemuan. Tidak setiap yang me­mujanya akan disinggahi. Dan tidak setiap yang tidak memujanya tidak akan dis­inggahi.
Ia benar-benar hidup. Ia tahu di hati mana mesti menabur benih. Dan mereka tidak mengatakan rahasianya. Orang yang mengetahui rahasia itu, bukan karena mem­baca, bukan pula karena tidak membaca. Bukan karena puasa, bukan pula karena tidak puasa. Tidak ada jalan, kecuali Smara Ratih itulah jalan.

Suksma, rahasya, tepet, itulah ciri perte­muan benih-benih mereka. Bila mereka se­dang bekerja, maka mulailah akan dirasa­kan hal-hal yang halus di dalam dan di 1uar diri ltulah suksma. Yang ramai menjadi sun­yi, yang biasanya dikatakan akhirnya dibisik­kan, dan yang biasanya dibisikkan menjadi tidak diucapkan.
Tidak ada yang melihat, karena yang melihat berubah menjadi yang dilihat. Itulah rahasya, pertemuan itu hanya sesaat. Tapi apalah sesaat, dan apalah artinya lama, bagi sebuah kedalaman. Dari yang sesaat terjadilah kesuburan, kehidupan, pen­ciptaan, wajah baru. ltulah yang disebut te­pet. Dari keadaan tepet inilah lahir apa yang orang sebut dengan istilah taksu. Tidak bisa dipelajari, tidak bisa dinanti. Ia terjadi oleh sebuah “pertemuan”.

Tidak bisa lain. Hanya dengan cara seper­ti itu Smara Ratih menyatakan diri ada. Smara Ratih pendatang baru di dunia, yang di daerah asalnya diusir karena kutukan akibat kesalahan fatal. Dewa datang dari jauh. Ia dipuja. Ia disembah. Ia diistanakan di dalam hati. Kepadanya orang menangis mengadu­kan penderitaan sepi hatinya. Kepadanya orang memohon bantuan agar bisa berdamai dengan kerinduan yang me1edak-1edak. Me­mang seperti itu alam berbicara. Ia yang men­ciptakan adanya rindu, dan kepadanya orang mencari obat kerinduan. Diciptakannya hati yang merana. Diberinya obat pada ke­meranaan hati itu. Kemudian dibuatkanlah oleh orang sebuah cerita. Bagaikan seutas tali, cerita yang dibangun kata-kata lebih erat mengikat pikiran orang-orang daripada tali itu sendiri.

Inilah yang dikatakan cerita selanjutnya.
Smara Ratih harus dipertemukan agar ke­hidupan terus ber1anjut. Tapi tidak sem­barang orang tahu bagaimana cara memper­temukan mereka. Tidak setiap senggama asmara badan berarti. pertemuan Smara Ratih. Tidak setiap pembuahan benih dan telur dihadiri Smara-Ratih. Oleh karena itu Shiwa sendiri yang kemudian turun untuk mempertemukan mereka. Kesuburan, tan­da kehidupan akan berlanjut, harus diada­kan. Maka Smara dan Ratih dipertemukan secara mistis disebuah bale paselang. Yantra, mudra, mantra tertuju pada kedua pasan­gan yang masih tertidur. Berbagai rentetan upacara digelar sebe1umnya. Pertemuan mis­tis itu adalah puncaknya. Smara adalah salah satu ujung duri. Ratih adalah ujung duri satunya 1agi. Perwakilan Shiwa di dunia berjuang untuk mempertemukan kedua ujung duri. Halus, suksma, gerakannya. Ra­hasya, itulah pertemuannya. Bila kedua ujung duri itu bertemu, itulah yang disebut tepet. Dengan penguasaan teknik, yang suksma, rahasya, tepet itu bisa diusahakan. Bisa di­adakan. Tinggal pembuktiannya saja. Apa­kah setelah itu kehidupan akan menjadi leb­ih bagus, atau tidak. Untuk itu perlu diket­ahui dengan apakah itu bisa dirasakan?

Pertemuan Smara Ratih adalah masalah guna, kualitas. Banyakn­ya bayi-bayi yang dilahirkan bukan sebuah pertanda keberlangsungan kehidupan. Melimpahnya hujan, berlipatnya hasil panen juga bukan. Semakin banyak yang bisa dikon­sumsi, juga bukan. Kehidupan tidak dititip­kan keberlangsungannya pada “yang bany­ak” itu. Tapi ada apa?
Jawabannyapun dititip­kan pada cerita. Pada ceritalah orang kemba­li. Dan di dalam cerita, sekali lagi, bukan ke­pastian yang didapatkan tapi kemungkinan-kemungkinan. Orang harus merasa cukup . dengan kemungkinan-kemungkinan itu. Ingin lebih dari itu, lobha namanya. Lobha itu­lah awal kematian.

Tapi ada cerita lain. Orang yang ingin be­bas dari lingkaran roda kelahiran, bebas dari putaran hidup mati, harus tahu cara memis­ahkan Smara dan Ratih. Ada beberapa pe­san yang disampaikan tentang pemisahan ini. Pasahakna ikang purusa lawan pradha­na.
“pisahkanlah Purusan dengan Pradhana”. Mempertemukan dan memisahkan. Men­yatukan dan menguraikan. Mabhanda bhe­da, mengikat dan melepaskan. Seperti main layangan, mengulur dan menarik. Tahu dari mana dan kemana angin bertiup. Pada saat­nya angin (baca: bayu) pulalah yang memis­ahkan Purusha dengan Pradhana. Tapi ke­sadaran tidak sama dengan layang-layang putus. Tubuh ini tidak persis sama dengan tali. Metafora tidak pernah persis sama den­gan kenyataan.

Itulah yang hendak dicontohkan oleh Shi­wa ketika meninggalkan istrinya, dan menggelar tapa.
Shiwa, rajanya para perta­pa, masih menggelar tapa? Ya, begitu yang dikatakan cerita. Tidak lebih dan tidak kurang. Shiwa saja masih bertapa. Mataha­ri saja masih bekerja. Laut saja masih ge­lisah. Gunung saja masih memendam panas di dadanya. Angin saja masih menempuh arah. Apalagi Kama dan Ratih yang ada dalam penjara badan.

Ketika Kama berusaha menarik Shiwa kembali ke istri, Shiwa pun mematikan
Kama detik itu juga. Apa yang hendak dis­ampaikan oleh Shiwa dengan mematikan Kama? Kehidupan ini harus dikalahkan. ltu­lah? Mengapa kemudian Shiwa meralatnya, karena permintaan dari dua orang “ibu”, yang satu Ratih dan satunya lagi Uma. Kenapa ia menghidupkan kembali Kama dan mengir­imnya ke Mertyupada?

Bumi ini disebut mertyapada yang berar­ti tempat dimana ada kematian, bukan tem­pat di mana ada kehidupan. Apakah itu pertanda kelak Smara dan Ratih juga akan mati di mertyupada ini?
Atau, mereka hanya transit sebentar di tubuh dan jiwa orang-or­ng yang pasti akan mati? Ternyata ada cerita lain. Kanan yang pas­ti mati hanyalah yang dilahirkan, dan yang memiliki tubuh. Yang tidak dilahirkan (a-ja) tidak akan mati. Yang tidak memiliki tubuh (anangga) tidak akan mati. Jadi, Kama Ratih tidak akan mati. Mereka juga tidak akan kembali ke asalnya. Mereka akan terus saja nengembara di dunia ini, sebagai Sanmatta dan Indu. Shiwa sendirilah sesungguhnya Mahaka­ma itu. Shiwa terus bekerja, dan masih bek­erja. ☼IBM Dharma Palguna. (Balipost - Apresiasi).

Rabu, 13 Agustus 2008

Warga Kapit Tewas di Sungai

I Dewa Gede Bagus
Warga Banjar Kapit, Nyalian, Banjarangkan, Rabu (13/8) kemarin geger. Menyusul, ditemukannya mayat Ni Nyoman Renyem (70), warga setempat mengambang di Tukad Sibo desa setempat setelah menghilang dari ruamhnya beberapa hari lalu. Kondisinya menggenaskan, bagian wajahnya rusak dan salah satu bagian matanya hilang.

Mayat korban dilihat pertama kali oleh warga setempat, Nyoman Taya (32). Sekitar pukul 14.00 wita, Taya sedang mencari kayu untuk pagar di pinggir sungai. Dia dikagetkan sesosok tubuh manusia dengan posisi telungkup di sela bebatuan. Taya menginformasikan temuannya kepada warga sekitar.

Warga sempat tak mengenali wajah korban, karena bagian kepalanya tenggelam. Saat diangkat, bagian wajahnya rusak dengan satu bola mata hilang. Diduga, akibat dimakan biawak. Diperkirakan korban tewas setelah terpeleset dari mulut jurang saat membersihkan gabah. Korban terjatuh ke sungai dan hanyut. Korban diduga meninggal sejak Selasa (12/8) lalu. Dari tubuhnya, tercium bau busuk.

"Terakhir, saya melihat dia (korban, red) hari Selasa. Karena sibuk di banjar ada upacara pengebenan, saya tidak tahu persis kapan dia meninggalkan rumah," ujar keponakan korban, Wayan Tagel. Rencananya, jenazah korban akan dikubur. Tetapi masih dicarikan hari baik. (kmb20)

Jumat, 08 Agustus 2008

Kelestarian Sumber Air Perlu Diperhatikan

I Dewa Gede Bagus
Pentingnya air dalam gerakan lingkungan mendapat perhatian dari Sang Nyoman Suwisma bersama Yayasan Citra Dewata Sentosa yang dikelolanya. "Gerakan pelestarian lingkungan tidak sekadar penghijauan. Tetapi, perlu diperhatikan pula salah satu elemen lingkungan yang sangat vital bagi kehidupan manusia yaitu air," ungkap Sang Nyoman Suwisma dalam pertemuannya dengan kelompok masyarakat Banjar Pakel Desa Sangkangunung Kecamatan Sidemen Kabupaten Karangasem, Kamis (7/8) lalu.

Menurut tokoh lingkungan Bali ini, air adalah elemen dasar kehidupan manusia, pertanian, dan juga dapat dimanfaatkan sebagai sarana olahraga serta kegiatan adventurir. "Karena itulah dalam melakukan gerakan pelestarian lingkungan perlu diperhatikan kelestarian sumber daya air," tegas Suwisma.

Dalam acara pertemuan bersama kelompok masyarakat yang tinggal di sepanjang aliran Tukad Telaga Waja ini, Suwisma melakukan dialog bersama masyarakat tentang pentingnya kelestarian daerah aliran sungai. "Mudah-mudahan kondisi daerah aliran sungai ini tetap terpelihara dengan baik dan lebih dihijaukan lagi, terutama di daerah hulu," imbau Suwisma.

Ia juga meninjau daerah sepanjang aliran sungai itu dan melihat ada beberapa titik yang perlu lebih dihijaukan. Selain itu, Suwisma juga bertemu dengan beberapa orang karyawan Bali Rafting yang memanfaatkan daerah aliran sungai itu untuk olahraga rafting. Bersama beberapa orang karyawan yang juga anggota masyarakat setempat itu, Suwisma banyak bercakap-cakap tentang kegiatan rafting dan berharap perusahaan rafting terlibat dalam kegiatan pelestarian daerah aliran sungai.

"Semoga olahraga rafting yang mendatangkan banyak wisatawan ini bisa memberikan keuntungan bagi masyarakat setempat," tutur Suwisma. Untuk mempertahankan debit air sungai, Suwisma bersama Yayasan Citra Dewata Sentosa bersepakat dengan masyarakat Banjar Pakel Desa Sangkangunung, Karangasem untuk melakukan gerakan penghijauan bersama.

Klian Dinas Banjar Pakel bersama masyarakat berharap gerakan penghijauan ini juga mengikutsertakan penanaman pohon manggis dan wani yang merupakan buah khas daerah ini. Hal ini disetujui oleh Suwisma. Ia berharap ada koordinasi yang baik dalam hal pemanfaatan air, di antara pengguna air minum, rafting dan subak. "Mudah-mudahan masyarakat bisa mendukung dan menerima wacana pelestarian sumber daya air yang telah disepakati bersama kelompok masyarakat ini dengan Yayasan Citra Dewata Sentosa," harap Suwisma. (r/*)

Kamis, 31 Juli 2008

Kersos IKIP PGRI Bali Berdayakan Warga Nyalian

I Dewa Gede Bagus
Undang Cedil Hibur Masyarakat

Kerja sosial (Kersos) IKIP PGRI Bali tahun ini dipusatkan di Desa Nyalian dan Desa Adat Br. Tegalwangi, Banjarangkan, Klungkung. Seribu mahasiswa dan dosen dikerahkan ikut membantu memberdayakan masyarakat setempat mempersiapkan diri mengikuti lomba desa adat dan desa dinas.

Rektor IKIP PGRI Bali Drs. Redha Gunawan saat melepas peserta kersos, Kamis (31/7) kemarin mengungkapkan visi dan misi IKIP PGRI Bali ternyata nyambung dengan permintaan pemerintah setempat lewat aparat desanya untuk membangun secara bersama-sama. Kerja sama Desa Nyalian dengan IKIP PGRI Bali ini sebagai yadnya bersama membangun desa. Makanya ia menegaskan kedatangan mahasiswa IKIP PGRI Bali ke desa lebih banyak belajar dengan masyarakat. 'Tugas kami belajar dan saling mengisi. Ini yang disebut dengan masimakrama,' ujarnya.

Kersos, kata dia, diadakan 1-3 Agustus. Selama tiga hari mahasiswa dan dosen diajak berinteraksi dan berbagi pengalaman. Di samping untuk mendekatkan IKIP PGRI Bali dengan masyarakat serta menerima masukan bagi IKIP PGRI Bali. Makanya Redha Gunawan menegaskan kersos ini ikut memberdayakan masyarakat setempat baik untuk pembangunan fisik maupun rohani. Bahkan IKIP PGRI Bali mengundang pelawak Cedil untuk menghibur masyarakat.

Cedil bersama Sekaa Arja Coblong Pamor akan menghibur masyarakat Banjarangkan di Br. Tegalwangi pada 1 Agustus malam. Sedangkan pada 2 Agustus IKIP PGRI Bali akan menghibur krama Desa Nyalian di wantilan desa setempat dengan kesenian Bali lainnya.

Ketua Panitia yang juga PR III IKIP PGRI Bali Drs. I Wayan Citrawan, M.Pd. menambahkan, selama kersos mahasiswa diajak membantu membangun pelang desa, candi bentar, pelang desa adat Br. Tegalwangi. Mahasiswa juga membuat papan nama pura, papan administrasi Desa Adat Tegalwangi serta menanam 1.000 pohon glodok, tanjung dan mahoni.

Kegiatan non-fisik meliputi persembahyangan bersama di Pura Pucak Sari Desa Nyalian. Dilanjutkan ceramah oleh Wayan Windia, S.H. dari Majelis Utama Desa Pakraman Bali tentang pemberdayaan desa pakraman melalui Tri Hita Karana di Desa Adat Br. Tegalwangi. Desa adat ini akan mewakili Klungkung pada loba desa Propinsi Bali.

Ketua YPLP PT IKIP PGRI Bali Drs. IGB Arthanegara, S.H., M.Pd. menyambut baik program mahasiswa turun ke desa. Justru semakin sering terjun ke desa dan membantu masyarakat makin bagus untuk menanamkan soft skill mahasiswa. (025/*)

Jumat, 18 Juli 2008

Ketua BPK Puji Kepemimpinan Dewa Beratha

I Dewa Gede Bagus
DEWA BERATHA adalah orang yang sepatutnya dapat paling berbahagia saat ini, karena Gubernur Bali periode 2003-2008 ini dapat mengakhiri masa jabatannya dengan penilaian pengelolaan keuangan daerah yang baik dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
Tidak ada permasalahan berarti yang ditinggalkan Dewa Beratha selama memimpin Bali lima tahun terakhir, sehingga kepemimpinannya patut dijadikan contoh oleh para penyelenggara pemerintahan di seluruh Indonesia.

Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Republik Indonesia Prof. Dr. Anwar Nasution mengemukakan pendapat tersebut saat tampil sebagai pembicara dalam dialog publik dengan tema 'Mendorong Terciptanya Transparansi dan Akuntabilitas Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara/Daerah' di Hotel Sanur Paradise Plaza, Rabu (16/7) lalu. 'Selama saya menjadi Ketua BPK ini, saya mendapatkan, jarang ada pemimpin seperti ini,' katanya disambut tepuk tangan 205 peserta acara ini yang terdiri dari pimpinan eksekutif, legislatif, yudikatif serta LSM dan instansi terkait di wilayah Propinsi Bali, NTB dan NTT.

Anwar Nasution tidak menyampaikan perincian lebih lanjut atas pernyataan itu. Namun, ia menegaskan pengelolaan keuangan negara/daerah di bawah kepemimpinan Gubernur Dewa Beratha telah meringankan penerusnya dalam memimpin roda pemerintahan, pembangunan dan kegiatan kemasyarakatan Bali karena pengelolaan keuangan negara/daerah telah memenuhi kriteria penilaian baik dari BPK RI.

Sebaliknya, Anwar mengingatkan para penyelenggara pemerintah jangan meniru perilaku Bupati Kutai Kertanegara, Kalimantan Timur, Dr. Syaukani. Menurutnya, Bupati Syaukani beruntung menjadi bupati di daerah yang kaya raya potensi kekayaan alam. Namun sayang, kekayaan alam Kutai Kertanegara itu bukannya dimanfaatkan untuk membangun daerah dan mensejahterakan rakyat, melainkan dikorupsi dan dipergunakan untuk menyuap.

'Yang ingin saya lakukan ke depan adalah jangan ada dusta di antara kita. Antara kau (Anwar menunjuk pada peserta dialog) dan aku,' ingat Anwar. Jika masih ada dusta di antara pejabat dengan BPK, maka Anwar menegaskan hasilnya adalah you go to jail (Anda/pejabat pergi ke penjara).

Dialog publik BPK RI ini baru pertama kali dilaksanakan di Bali. Dipilihnya Bali sebagai lokasi pelaksanaan dialog berangkat dari penilaian baik pengelolaan keuangan negara/daerah yang dilakukan Gubernur Bali Dewa Beratha. Tujuan dialog untuk mencari masukan sekaligus respons atas hasil pemeriksaan keuangan yang dilakukan daerah. (r/*) (Bali Post 19/7/08)

Rabu, 02 Juli 2008

Taman Narmada Baliraja

I Dewa Gede Bagus


Identifikasi dan Daya Tarik
Di Desa Taman Bali terdapat sebuah Taman yang merupakan peninggalan Kerajaan Taman Bali. Taman ini dilengkapi kolam dan tempat pemujaan berupa bangunan Pura Kawitan Maha Gotro Tirta Harum Tamanbali sehingga tempat ini dijadikan tempat rekreasi oleh raja Tamanbali. Taman Narmada Baliraja luasnya sekitar 50 are dikelilingi oleh areal persawahan. Kerama subak mendirikan bangunan Pura Subak yang berada di sebelah Barat Pura Kawitan Maha Gotro Tirta Harum Tamanbali. Disamping itu terdapat pula peninggalan berupa Jempeng Raja (WC) yang berbentuk lembu dan Bangunan Bale Emas (tempat penyimpanan kekayaan raja) yang berada di lingkungan SD No. 1 Tamanbali. Bale emas itu sudah direnovasi pada tahun 1986 oleh warga Desa Tamanbali. Peninggalan ini tentunya mempunyai daya tarik dan sekaligus potensial dikembangkan sebagai obyek wisata, khususnya wisata memancing yang bisa dikaitkan dengan olah raga sepeda gayung dan lari lintas alam.
Lokasi
Taman Narmada Baliraja terletak di Desa Tamanbali Kecamatan Bangli, Kabupaten Daerah Tingkat II Bangli. Untuk mencapai Desa ini dari Kota Bangli ke arah Selatan dengan nemenpuh jarak 5 km dan dari ibu kota propinsi dapat menempuh melalui jalan utama 5 Gianyar-Bangli yang berjarak 35 km. Sedangkan dari Desa Tamanbali menuju taman ini ada 2 jalan yaitu :
1. Melalui jalan setapak (jalan tanah) ke arah barat yang jaraknya kurang lebih 500 m.
2. Ke arah barat melalui jalan aspal sebelum memasuki dusun Sedawa belok ke arah Selatan, jaraknya kurang lebih 300 m.
Fasilitas
Di desa Tamanbali belum tersedia rumah makan, penginapan, parkir sebagai pendukung dalam perkembangan Obyek Wisata. Namun kondisi jalannya sudah beraspal, mengingat Desa ini merupakan jalur pariwisata yang menghubungkan obyek wisata Kabupaten Gianyar dengan obyek Wisata Kabupaten Bangli. Desa ini sudah dialiri listrik demikian pula air bersih.
Kunjungan
Sampai sekarang hanya warga masyarakat Desa Tamanbali yang mengunjungi taman ini yang mempunyai hobi memancing.
Deskripsi
Berdirinya Kerajaan Tamanbali erat sekali kaitannya dengan Tirta Harum yang ada di Desa Tegal Wangi Kabupaten Daerah Tingkat II Klungkung. Berdasarkan monografi Desa Tamanbali yang dikutif dari babad Satria Tamanbali diceritakan bahwa Sang Hyang Subali bersaudara denga Sanghyang Sekar Angsana, Sang Hyang Aji Rembat dan Ida Mas Kuning. Sang Hyang Subali tinggal di Gunung Tohlangkir (Gunung Agung), Sang Hyang Sekar Angsana di Gelgel, Sang Hyang Aji Jaya Rembat di Kentel Gumi dan Ida Mas Kuning di Guliang Kangin Tamanbali. Dalam kaitan ini Pedanda Wawu Rauh dalam kedatangannya ke
Bali sempat berkunjung bertemu dengan Sang Hyang Subali. Sekembalinya dari Gunung Agung dalam menempuh perjalanan panjang beliau merasa sangat haus maka turunlah ke sungai Melangit untuk mendapatkan air. Akhirnya beliau menancapkan tongkatnya pada batu karang di tebing sungai Melangit sehingga keluarlah air yang harum dan seorang gadis cantik dari belahan batu karang . Karena air ini sangat harum maka mata air dinamai Tirta Harum dan bahkan bau harumnya sampai ke tegal sekitarnya hingga dinamakan tegal wangi. Kemudian Pedanda Wawu Rauh melanjutkan perjalanan, sedangkan Dewi Nyung Asti masih tetap berada di dalam goa. Dan pada akhirnya Dewi Nyung Asti melahirkan seorang anak laki-laki yang diberi nama I Dewa Anga Tirta. Setelah menginjak dewasa diganti namanya dengan sebutan Sang Anom/Sang Anom Bagus, sesuai dengan ajaran Sang Hyang Subali. Kemudian Sang Anom Bagus mendirikan kerajaan di sebelah barat laut dari Tirta Harum yaitu di Narmada dengan nama lain Tamanbali. Tamanbali diuraikan menjadi ta artinya sejati, ma artinya lebih dan Bali artinya asli yang dibuat oleh Sang Hyang Subali. Jadi Tamanbali diciptakan oleh Sang Hyang Subali dengan keahlian yang sejati dan tidak ternodai oleh apapun. I Dewa Anga Tirta/Sang Anom Bagus diangkat menjadi raja oleh Sang Hyang Aji Jaya Rembat. Sang Anom Bagus kawin dengan Dewi Ayu Emas, putri dari Sang Hyang Sekar Angsana yang tinggal di Gelgel Klungkung. Pada pemerintahan Sang Anom Bagus Raja Kerajaan Tamanbali mendirikan tempat pemujaan dan sebuah taman yang indah untuk dijadikan tempat rekreasi. Pemujaan berupa Pura Kawitan Maha Gotro Tirta Harum dan Taman Narmada Baliraja merupakan peninggalan sejarah yang harus dilestarikan keberadaannya.

Selasa, 17 Juni 2008

MENELUSURI KAWITAN MAHA GOTRA TIRTA HARUM

I Dewa Gede Bagus
OM SWASTYASTU
Penulis seidentik dengan pendapat atau anggapan sementara orang, khususnya Maha Gotra Tirta Harum, yang berorientasi pada Pura Tirta Harum sebagai Pura Kawitan Maha Gotra Tirta Harum, ini ada benarnya karena leluhur Maha Gotra Tirta Harum dilahirkan di Tirta Harum.
Tapi kini penulis akan mencoba mengutarakan bahwa disamping Pura Kawitan Tirta Harum, masih ada lagi Pura Kawitan yang lain yang belum dikenal oleh para pembaca dan khususnya oleh para kebanyakan Maha Gotra Tirta Harum.
Sebagai jawaban atas pertanyaan : Putra siapakah bayi yang dilahirkan di Tirta Harum, dan dimana stana beliau tempat melakukan Tapa Yoga Semadi.
Berdasarkan Lontar Pura Dalem Sila Adri, satu-satunya sumber yang penulis temukan, mengutarakan pada pokoknya sebagai berikut :
Disebutkan dalam Lontar bahwa, beliau yang bergelar Danghyang Subali berstana di Gunung Tohlangkir (Gunung Agung) membangun stana tempat beryoga di Pura Bukit Batur (150 m disebelah timur Pura Tirta Harum). Dan daerah di sekitar pesraman tersebut diberi nama Brasika yang berarti ikan Nyalian.
Disamping membangun stana tempat melakukan Tapa Yoga, beliau juga membangun dua buah permadian yaitu : Tirta Harum dan Taman Bali. Permandian taman ini diberi nama Taman Bali, karena dibangun oleh Danghyang Subali, sampai daerah sekitarnya disebut Desa Taman Bali. Ditilik dari kedua nama Brasika dan Taman Bali adalah dua nama satu sumber pencipta yaitu Danghyang Subali yang mengandung makna, ikan tanpa taman hidupnya susah, taman tanpa ikan airnya jadi kotor, dan akan jadi harmonis bila kedua unsur ini menyatu.
Ketika Danghyang Subali menciptakan permandian Tirta Harum, beliau bersemedi di tebing sungai Melangit : "Umijil Ertalia Merik" mengalirlah air pancuran yang baunya sangat harum, sehingga tempat mijilnya Tirta tersebut disebut Tirta Harum, dan daerah sekitarnya berbau wangi diberi nama Tegalwangi, dan bau harum ini menyusup ke Utara Timur sampai ke daerah Selat, daerah Masih Mabo, dan Daerah Empah, yang ceritanya telah berbataskan daerah Selat masih berbau harum "Masih Mabo", dan bau ini baru berkurang di daerah Empah, yang sampai sekarang daerah-daerah ini dipakai nama subak yaitu Subak Selat, Subak Sibo, dan Subak Lempah. Semua subak-subak ini Tirta Harum yang terletak di Banjar Tegalwangi termasuk Wilayah Desa Nyalian, Kecamatan Banjarangkan, Kabupaten Daerah Tingkat II Klungkung.
Diceritakan lebih lanjut setelah beliau Danghyang Subali selesai melakukan Tapa Yoga di tempat ini, dan akan kembali ke Jawa yaitu Gunung Semeru, dan sebelum meninggalkan Pesraman tempat beryoga, beliau menyerahkan Pesraman dan kedua Permandian tersebut kepada adik beliau yang berstana di Kenteling Jagat (Kentel Gumi) di daerah Tusan yang bergelar, Danghyang Sri Aji Jaya Rembat, yang juga berstana di Guliang.
Atas perintah Danghyang Subali, Danghyang Jaya Rembat menggantikan Danghyang Subali berstana di Bukit Batur, dan sejak itu nama Bukit Batur dirubah menjadi Dalem Sila Adri. Sila berarti Batu dan Adri berarti Gunung/Bukit. Jadi Sila Adri berarti Gunung Batu.
Pada hari Tanggal Tahun Saka (ada dimuat dalam Lontar) Danghyang Jaya Rembat berangkat dari Dalem Sila Adri ke Tirta Harum. Sampai di Tirta Harum dikisahkan oleh penulis jaman dulu ditemukan bahwa air pancuran "aseret" yang berarti lobang itu tertutup oleh bayi dan bayi tersebut sulit untuk dilahirkan, tapi berkat keahlian Danghyang Sri Aji Jaya Rembat sebagai Dukun, Bayi tersebut bisa dilahirkan dengan selamat, terus dimandikan di air pancuran, sehabis dimandikan lalu ditaruh disuatu tempat "Loring Tukad Melangit" di sebelah utara Tukad Melangit (Jero Puri) diberi alas daun kayu jati dibawah kayu teges. "Anangis tang rare tan papegatan (menangis bayi itu tanpa henti-hentinya), menjadikan Danghyang Jaya Rembat kewalahan lalu memuja beliau Danghyang Subali, agar beliau berkenan hadir. Tidak berselang lama, kemudian Danghayang Subali tiba di tempat itu lalu bersabda : "Iki maka anakku panugrahan Danghyang Wisnu Bhuana patemone ring Diah Jung Asti, wenang ikang ari Angerembat", (artinya : ini adalah putraku penugrahan Danghayang Wisnu Bhuana, dalam perkawinan dengan Diah Jung Asti, patut adikku memeliharanya).
Siapakah yang bergelar Diah Jung Asti ?. Penulis jaman dulu biasanya enggan menyebutkan nama sebenarnya karena tidak etik. Ditinjau dari arti nama Diah Jung Asti Diah berarti Putri Raja, Jung berarti Bukit, Asti berarti Dasar. Jadi Diah Jung Asti berarti Raja Putri yang berstana di kaki bukit. Dan kalau dihubungkan dengan Danghyang Wisnu Bhuana, Danghyang berarti Dewa, Wisnu berarti Air, Bhuana berarti Darat. Jadi Danghyang Wisnu Bhuana berarti Dewa penguasa air di darat. Jadi secara keseluruhan dapat diartikan dan dihubung-hubungkan : Raja Putri yang berstanana di dasar kaki bukit sebagai penguasa air di darat. Apakah tidak mungkin yang dimaksud Diah Jung Asti dalam kiasan tersebut adalah Raja Putri Dewi Ulun Danu, dan kalau pendapat ini bisa diterima, maka Kentel gumi, Dalem Sila Adri dan Ulun Danu keberadaannya hampir bersamaan. Hal ini dapat diperkuat dengan bukti bahwa : Untuk menghormati jasa beliau Dewi Ulun Danu, maka didekat pura Kentel Gumi dibangun pura Ulun Danu.
Disebutkan pula bahwa bayi tersebut oleh Danghyang Subali dianugrahi Gelar "I Dewa Gede Angga Tirta", dan setelah dewasa diberi gelar : "I Dewa Gede Sang Anom Bagus". Jadi jelaslah bahwa titel "I Dewa Gede" adalah penugrahan Danghyang Subali kepada putra yang lahir di Tirta Harum dan keturunannya..................................................
Tidak diceritakan kisah perjalanan Danghyang Subali, diceritakan beliau Danghyang Sri Aji Jaya Rembat "Ngemong Tang Rare" memelihara putra tersebut di Dalem Sila Adri, dan kadang-kadang juga berada di Guliang, dan setelah beberapa tahun lamanya I Dewa Gede Angga Tirta menjadi dewasa dan telah bergelar I Dewa Gede Sang Anom Bagus.
Dihentikan cerita ini, diceritakan sekarang beliau Dalem Sekarangsana berstana di Gelgel. Dalem Sekarangsana dikaruniai seorang putri bergelar "I Dewa Ayu Mas Dalem", konon beliau dalam keadaan sakit. Oleh Dalem Sekarangsana diminta agar Danghyang Sri Aji Jaya Rembat berkenan datang ke Gelgel untuk mengobati I Dewa Ayu Mas Dalem. Dan sekali saja diobati oleh Danghyang Jaya Rembat I Dewa Ayu Mas Dalem sembuh sepeti semula. Akan tetapi kemudian I Dewa Ayu Mas Dalem diindap penyakit lain yaitu sakit edan. Setelah beberapa kali diobati oleh Danghyang Jaya Rembat dengan japa mantra dan segala husada telah digunakan, tetapi I Dewa Ayu Mas Dalem tak kunjung sembuh. "Anangis ta sira Dalem Sekarangsana" (bersedihlah hati beliau Dalem Sekarangsana), dan menyerahkan I Dewa Ayu Mas Dalem untuk ikut Danghyang Jaya Rembat ke Pesraman. Sampai di Dalem Sila Adri sakitnya menjadi sembuh karena bertemu pandang dengan I Dewa Gede Sang Anom Bagus dan apabila pulang ke Gelgel sakitnya kambuh lagi. Oleh karena itu agak lama beliau tidak pulang ke Gelgel, senang tinggal di Dalem Sila Adri hatinya terpikat oleh seorang pemuda "Warnaning bagus apekik" yang sangat ganteng rupawan yaitu I Dewa Gede Sang Anom Bagus, maka terjalinlah cinta kasih kedua insan berlainan jenis ini. Ketika I Dewa Ayu Mas Dalem sedang mandi di pancuran Tirta Harum diketahui oleh Dayang dari tanda-tanda perubahan biologis, bahwa I Dewa Ayu Mas Dalem telah hamil. Dayang segera melaporkan hal itu kepada Dalem Sekarangsana, bahwa I Dewa Ayu Mas Dalem telah hamil, Dalem Sekarangsana menjadi marah, serta memerintahkan para sikep yudha/prajurit Gelgel untuk menangkap I Dewa Gede Sang Anom Bagus. Prajurit bersenjata Gelgel segera berangkat dari Gelgel menuju Guliang dan stana Guliang ditemukan dalam keadaan sepi, lalu berbelok ke timur turun ke Tukad Melangit naik keatas Bukit Sila Adri. Pada saat itu Danghyang Jaya Rembat sedang melakukan Puja Astawa, tahu akan tentang tujuan prajurit Gelgel tersebut, lalu menghilang di atas tilam tempat duduk. Setibanya prajurit Gelgel di Dalem Sila Adri, pesraman kelihatan sepi, namun usaha pencarian terus dilakukan, kemudian terdengar berita bahwa ada seorang pemuda rupawan sedang berburu/memikat burung perkutut di Hutan Jarak Bang. Prajurit Gelgel berangkat ke Jarak Bang dan menemukan I Dewa Gede Sang Anom Bagus sedang berburu, lalu ditangkap "tinalian", diikat dibawa ke Gelgel bersama dengan Danghyang Jaya Rembat. Tidak diceritakan dalam perjalanan sampailah di Gelgel. I Dewa Gede Sang Anom Bagus dihaturkan kepada Dalem. Dalem menjadi marah dan memutuskan dalam sidang bahwa I Dewa Gede Sang Anom Bagus patut dijatuhi hukuman mati, karena berani dengan kedudukan Dalem. Bersedihlah beliau Danghyang Jaya Rembat, sebelum hukuman mati terhadap I Dewa Gede Sang Anom Bagus dilaksanakan, Danghyang Jaya Rembat sempat memuja Danghyang Subali agar beliau berkenan hadir ke Gelgel karena putra I Dewa Gede Sang Anom Bagus tertimpa bahaya. Tidak lama kemudian datang Danghyang Subali di Gelgel serta bersabda ; "Iki anakku panugrahan Danghyang Wisnu Bhuana, wenang ajatu karma kelawan I Dewa Ayu Mas Dalem apan amisan" (artinya ini adalah putraku panugrahan Danghyang Wisnu Bhuana, patut dijodohkan dengan I Dewa Ayu Mas Dalem karena besepupu). Mendengar sabda itu luluhlah hati beliau Dalem Sekarangsana, I Dewa Gede Sang Anom Bagus tidak jadi dibunuh, bahkan sebaliknya dibuatkan upacara perkawinan di Gelgel, setelah diupacara lalu dibuatkan Puri disebelah utara Bencingah Gelgel dan diberi Gelar "Cokorde Den Bencingah". Jadi titel Cokorde pertama kali disandang oleh Putra Tirta Harum atas panugrahan Dalem Sekarangsana, adalah orang yang sehari-harinya dekat dengan Dalem baik ditinjau dari hubungan darah maupun kedudukan dalam struktur Istana Dalem. Karena I Dewa Sang Anom Bagus adalah Putra pertapa tidak lama tinggal di Gelgel kembali melakukan Tapa Yoga ke Kaki Gunung Agung, dengan meninggalkan istrinya I Dewa Ayu Mas Dalem dalam keadaan hamil, dengan pesan : bayi yang masih dalam kandungan bila lahir kemudian diberi nama I Dewa Gede Garba Jata "karena dikejar oleh prajurit bersenjata ketika hamilnya".
Setelah cukup umur dalam kandungan lahirlah bayi tersebut dan oleh Sang Ibu diberi nama I Dewa Gede Garba Jata. Sangat disayang oleh Dalem karena Dalem belum berputra, saking sayangnya Dalem kepada putra ini sering tertidur dipangkuan Dalem. Ketika Dalem tidak ada pergi ke Uluwatu, Putra tersebut menunggu dan tertidur pada singasana Dalem, sekembali Dalem dari bepergian, pengiring Dalem yang bernama Ki Jambul Pule membawa tilam/tempat duduk Dalem, dengan tanpa memperhatikan lalu menaruh tilam tersebut di atas singasana Dalem, tahu-tahu putra tersebut ditindih tilam, Ki Jambul Pule jadi gemetar akan kesalahannya, tapi Dalem mengampuninya serta bersabda : Seketurunan Putra ini bila menjadi Raja patut diberi Gelar "I Dewa Gede Tangkeban".
Beberapa tahun telah lampau dewasalah Putra I Dewa Gede Garba Jata, menanyakan kepada Sang Ibu siapa nama ayah dan dimana beliau berada. Dijawab oleh Sang ibu bahwa sang ayah bernama : I Dewa Gede Sang Anom Bagus sedang menjalani Tapa Yoga di Kaki Gunung Agung.
Berangkatlah I Dewa Gede Garba Jata dengan pengiring ke Kaki Gunung Agung, lama dicari akhirnya bertemu dengan seorang pertapa yang sedang "Amono Brata" sedang melakukan meditasi dan tubuhnya ditumbuhi lumut, I Dewa Gede Garba Jata lalu besimpuh dan memohon agar pertapa berkenan "Angelebaraken Mono Brata" melepaskan tapanya dan ketika ditanya Sang Putra mengaku bernama I Dewa Gede Garba Jata, teringatlah Sang Pertapa bahwa I Dewa Gede Garba Jata adalah Putranya, serta Sang Putra memohon agar Sang Ayah bekenan untuk pulang karena ditunggu Sang Ibu, tapi permohonan Sang Putra tidak terkabulkan, dengan pesan pewarah-warah sebagai berikut : Jangan berani kepada kedudukan Dalem Gelgel, dan akan menjadi Raja di Tamanbali. Setelah panugrahan selesai beliau Sang Pertapa (I Dewa Gede Sang Anom Bagus) lalu menghilang atau moksah setelah disembah oleh I Dewa Gede Garba Jata. sejak itu batu tempat moksahnya I Dewa Gede Sang Anom Bagus disebut Batu Madeg.
Dengan perasaan senang dan berbaur sedih pulanglah I Dewa Gede Garba Jata langsung ke Gelgel, tidak lama kemudian karena sangat disayang oleh Dalem I Dewa Gede Garba Jata dianugrahi Daerah lalu diangkat menjadi Raja Tamanbali dengan Gelar I Dewa Gede Tangkeban. Kemudian diceritakan Raja Tamanbali berputra tiga orang pertama I Dewa Gede Pering menjadi Raja di Brasika/Nyalian dengan pusat Penataran Sri Serengga, kedua Raja Bangli dengan pusat Penataran Bangli, dan ketiga Raja Tamanbali berpusat di Penataran Agung Tamanbali, (ketiga kerajaan ini memiliki Babad sendiri-sendiri) Babad Tamanbali, Babad Nyalian, Babad Bangli.
Kembali diceritakan beliau Danghyang Jaya Rembat berstana di Dalem Sila Adri. "Kunang ana ta muwah stria listuayu aminta lugraha ri sih ira Danghyang Jaya Rembat anguntap pengrupak ira, maharepa manebas daun pisang ......................................................"
Adalagi seorang wanita cantik memohon panugrahan cinta kasih beliau Danghyang Jaya Rembat agar berkenan memberikan meminjam pengerupak beliau, akan dipakai memetik daun pisang, permohonan tersebut dikabulkan dengan pesan jangan diselipkan pada pinggang, lupa wanita itu akan pesan tersebut, lalu setelah dipakai pengerupak tersebut dengan tidak disadari diselipkan dipinggangnya lalu hamillah wanita itu dan dari kehamilannya ini lahirlah seorang bayi yang diberi nama Ki Dukuh Suladri, diambil dari nama Dalem Sila Adri, yang kemudian membangun pedukuhan di tempat permandian Danghyang Jaya Rembat di bukit Empul Taman Sari, sampai sekarang tempat ini dinamakan Banjar Dukuh yang letaknya tidak jauh dari Dalem Sila Adri dan Tirta Harum di tepi Sungai Melangit termasuk Daerah Brasika/Desa Nyalian Kecamatan Banjarangkan, Kabupaten Klungkung.
Tidak diceritakan dimana beliau Danghyang Jaya Rembat Moksah, diceritakan Ki Dukuh Suladri tinggal di Pedukuhan di Taman Sari. Propesinya sama dengan Danghayang Jaya Rembat sebagai dukun dan pertapa yang juga ngemong Pura Dalem Sila Adri, datanglah ke pedukuhan dua orang Putri cantik "tosing Majapahit" keturunan majapahit (tidak disebutkan namanya) "melapu-lapu maserana kulit bawang tumiber ring Pasar Agung" pergi tanpa arah seperti kulit bawang di pasar dihembus angin sampailah kedua Putri tersebut di Padukuhan Ki Dukuh Suladri, hendak dijadikan anak angkat oleh Ki Dukuh Suladri, Ki Dukuh Istri tidak setuju, karena dalam perkawinannya telah dikaruniai keturunan. Tidak lama kemudian didengar oleh Dalem Gelgel bahwa Ki Dukuh Suladri ada memelihara dua orang Putri cantik, Dalem Gelgel datang ke Dalem Sila Adri "Masanekan" istirahat disana sambil menunggu kedatangan Ki Dukuh Suladri, tidak lama datang menghadap Ki Dukuh Suladri menghaturkan buah-buahan (pala gantung) kepada Dalem, pada kesempatan tersebut Dalem Gelgel menyampaikan kehendaknya akan mengawini Putri Keturunan Majapahit tersebut yang dipelihara oleh Ki Dukuh Suladri, Ki Dukuh Suladri tidak bisa berbuat banyak lalu menghaturkan putri Majapahit yang ke dua, dan yang pertama tinggal bersama dengan Ki Dukuh di Pedukuhan. Pendek ceritera Dalem mengawini putri nomor dua Tosing Majapahit "keturunan Majapahit" itu lalu berputra Pungakan Den Bencingah yang disebut juga Pungakan Den Kuta, yang berkuasa di Brasika sebelum Putra Tamanbali dengan membawa keris Ki Lobar. (tidak diceritakan hijrahnya Keris Ki Lobar dari tangan Pungakan Den Bencingah ke tangan Raja Tamanbali). Sejak perkawinan ini Ki Dukuh Suladri sangat disayang oleh Dalem Gelgel selaku besan dianugrahi rakyat sebanyak "Rong Atus" 200 orang dan dipindahkan kedudukannya memegang kekuasaan dari Banjar Padukuhan ke Daerah lain (tidak disebutkan nama Daerah, mungkin dimuat dalam Babad Ki Dukuh).
Setelah Dalem selesai memegang tapuk pemerintahan di Gelgel datang ke Desa Bakas akan mengadakan pertemuan dengan Putra beliau Pungakan Den Bencingah yang berkuasa di Brasika/Nyalian, setelah panugrahan atau pesan-pesan diterima oleh Putra Dalem Pungakan Den Bencingah beliau "ayat moksah" akan menghilang dan pada saat itu Pungakan Den Bencingah segera memeluk kaki Dalem Gelgel, tapi yang hanya dapat dipegang adalah kain yang dipakai oleh Dalem Gelgel (kancut) dan Kancut ini dipastu menjadi batu maka disebut Batu Kancut (sekarang disebut Batu Ngandang).
Ceritera moksahnya Dalem Gelgel di Desa Bakas, sekarang masih hidup dikalangan masyarakat secara turun temurun dan belum ditemukan sumbernya (mungkin dimuat dalam Babad Pungakan Den Bencingah/Pungakan Den Kuta) penulis menganggap perlu untuk diangkat sebagai bahan perbandingan dengan sumber-sumber lain yang masih ada di tangan Pembaca.
Dengan terbatasnya sumber lontar yang penulis pakai dasar, maka sangat terbatas pulalah sajian tulisan ini, dengan kerendahan hati penulis mohon kepada pembaca pada umumnya, khususnya para Sesepuh Maha Gotra Tirta Harum, dengan harapan dapat dikaji yang mengacu kepada kesempurnaan babad Maha Gotra Tirta harum.
Sebagai akhir kata cuma maaf yang penulis mohon, dan semoga kita bahagia lahir batin . (I Dewa Nyoman Gede Pinatih)
OM SANTI SANTI SANTI OM

Rabu, 04 Juni 2008

Telkomsel Bongkar Tower di Nyalian

I Dewa Gede Bagus
* Ketua Tim Yustisi Kontak Gubernur

Janji pihak Telkomsel membongkar towernya di Br. Griya, Desa Nyalian, Banjarangkan, akhirnya ditepati Jumat (20/10) kemarin. Satu per satu peralatan penting yang berada atau melekat di tower diturunkan. Bahkan terkait pembongakaran Tim Yustisi yang juga ikut turun mengerahkan 4 regu anggota Satpol PP untuk mengawasi dan ikut membantu.
Pembongkaran tower yang berdiri di tanah pelaba Pura Penataran Sri Srengge tersebut berjalan mulus. Pembongkaran yang dimulai pukul 09.00 wita itu langsung disaksikan Ketua Tim Yustisi, Ngakan Putu Gde Bawa, bersama anggota. Tak ketinggalan aparat pemerintah seperti Camat, Kepala Desa dan Kadus turut mengawasi pembongaran tower tersebut.
Pembongkaran tower diawali dengan acara penandatanganan berita acara pengembalian barang bukti berupa kunci pintu pagar serta sebuah aki generator yang disita. Selanjutnya dilakukan dengan acara membuka gembok segel dan merobek surat peringatan. Menariknya, Ketua Tim Yustisi sempat menghubungi dan melapor langsung pembongkaran tower oleh Telkomsel itu ke Dewa Made Berata selaku Ketua Umum Mahagotra Tirta Harum yang juga Gubernur Bali.
Sementara Kades Nyalian, IB Alit Negara, di sela-sela pembongkaran berharap agar pihak Telkomsel tidak kapok membangun tower di Desa Nyalian. Pihaknya secara diplomatis mengaku siap mencarikan tempat dan itu pun harus disesuaikan dengan aturan yang ada.
Lalu terkait dengan kontribusi ke penyanding dan desa yang sudah diberikan pihak Telkomsel, Alit Negara mengaku belum tahu kalau ada dari penyanding dan pihak desa adat yang mengembalikan. ‘’Yang jelas, dari Dinas Kantor Desa belum menerima kontribusi yang dimaksud,’’ tandasnya.
Sementara dari pihak Telkomsel, Faozi, menyatakan kalau pihaknya menerjunkan 16 orang teknisi untuk membongkar tower tersebut. Pihaknya yakin dengan jumlah teknisi sebanyak itu proses pembongkaran dapat selesai dilakukan pada 2 November nanti. (wia) (Denpost)

Selasa, 03 Juni 2008

Dikucilkan di Sekolah, DAPA Minta Perlindungan

I Dewa Gede Bagus
* Kirim Surat Bantahan Hamil ke Kantor Desa
Rumor adanya dugaan guru SD menghamili anak kandungnya yang masih duduk di bangku SMP di wilayah Nyalian, Banjarangkan, ternyata membuat korban (DAPA) terusik. Setidaknya, adanya rumor tersebut korban bersama orangtuanya meminta perlindungan Kades Nyalian, IB Alit Negara. Bahkan untuk menepis rumor tersebut, korban mengirimkan surat bantahan ke Kantor Desa Nyalian.
Kades IB Alit Negara ketika dimintai konfirmasi Kamis (1/4) kemarin, mengakui telah menerima
surat bantahan dari korban, Rabu (30/4). Yang mana dalam isi surat tersebut, DAPA mengaku tidak dalam kondisi hamil. Hal itu pun berdasarkan hasil tes urine dan kondisinya yang mengalami datang bulan saat ini. ‘’Saya sudah terima surat bantahan dari yang bersangkutan kemarin,’’ ujar Alit Negara.
Namun sebelum
surat bantahan tersebut diterimanya, Alit Negara mengaku sempat turun bersama babinkamtibmas mengecek ke rumah korban Selasa (29/4). Kelian dusun dikatakan juga sempat mengecek ke rumah korban Senin (28/4) terkait rumor tersebut. Dari hasil pengecekan tersebut, korban yang didampingi kedua orangtuanya membantah sedang hamil. ‘’Saat itu si anak mengaku tidak hamil berdasarkan hasil tes urine dan saya lihat sendiri dia memang tidak hamil,’’ ujar Alit Negara.
Selain itu Alit Negara mengakui setelah munculnya rumor tersebut si anak (DAPA) yang duduk dibangku kelas III SMP uring-uringan karena merasa dikucilkan oleh temannya di sekolah Senin (28/4). Bahkan untuk membantah rumor tersebut, orangtua korban juga dikatakan sempat bolak-balik minta bantuan Camat Banjarangkan, Putu Widiada, untuk menembuskan surat bantahan ke Polsek Banjarangkan, Kades Nyalian, Kepala Sekolah SMPN 3 Banjrangkan termasuk Kabag Humas dan Protokol Pemkab Klungkung. (741) (Denpost)

Senin, 02 Juni 2008

Universitas Ngurah Rai Gelar KAT di Desa Nyalian

I Dewa Gede Bagus
Mengejewantahkan Tri Dharma Perguruan Tinggi, Universitas Ngurah Rai menggelar Kuliah Aplikasi Terpadu (KAT) di Desa Nyalian, Banjarangkan, Klungkung. KAT tahun ketiga itu melibatkan unsur Yayasan Jagadhita, rektorat, dosen dan pegawai 68 orang, mahasiswa 210 orang, dibantu 18 anggota Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universitas Ngurah Rai. KAT yang berlangsung sejak Kamis (21/2) dan berakhir Minggu (24/2) besok, dibuka Bupati Klungkung Wayan Candra, Jumat (22/2) kemarin, didampingi Rektor Universitas Ngurah Rai Prof. Tjok. Gede Atmaja bersama jajaran, unsur Muspika Banjarangkan, aparat desa dan prajuru adat setempat.
Acara pembukaan diisi dialog mahasiswa dengan Bupati Candra dan masyarakat menyangkut persoalan yang dihadapi masyarakat, di antaranya pengentasan buta aksara, anak putus sekolah, pengurusan akta pernikahan dan lainnya. Usai dialog, dilanjutkan penanaman pohon sebagai simbolis kegiatan penghijauan.
Ketua Panitia KAT yang juga Pembantu Rektor (PR) III A.A. Ngurah Alit Suteja, S.H., M.H. didampingi PR I Ketut Witarka Yudita, M.T. menyebutkan, KAT bisa dikatakan lebih dari KKN yang selama ini dilakukan. Jika KKN hanya mengejewantahkan satu isi Tri Dharma Perguruan Tinggi (TDPT) yakni pengabdian pada masyarakat, maka KAT, TDPT bisa dilaksanakan sekaligus.
Di bidang pengabdian sosial, digelar bakti sosial berupa penghijauan, penanaman pohon kemiri di sekitar setra dan cempaka. Pengobatan gratis serta pertandingan persahabatan voli, sepak bola sebagai sarana komunikasi bersama masyarakat dan sekaa teruna.
Bidang akademis, digelar penyuluhan pejabat/pemuka masyarakat tentang pemerintahan dan penyuluhan pilkada. Bidang penelitian, peserta KAT diwajibkan melakukan penelitian sesuai bidang/fakultas yang menghasilkan enam buah penelitian (3 buah di Fakultas Hukum, Fisipol, Teknik dan Ekonomi masing-masing 1 buah).
Intinya, KAT merupakan kesempatan mahasiswa menerapkan teori saat kuliah, termasuk saat pembekalan dari pakar-pakar, kepada masyarakat. Termasuk menguji kemampuan menggali dan mengembangkan potensi desa. Nyalian kan punya perajin patung, uletan. Tetapi jumlahnya masih sedikit. Itulah yang dikembangkan, mulai bagaimana mengajarkan masyarakat tentang pemasaran, sistem kerja sama, motif dan lainnya.
''Beruntung, Bupati, muspika dan masyarakat merespons positif kegiatan kami. Karena setelah KAT kami tidak melupakan begitu saja desa tempat kegiatan kami. Tetapi akan kami jadikan desa binaan selama dua tahun, sehingga Desa Nyalian benar-benar berkembang dan maju,'' tandas Ketut Witarka. (kmb20/*) (Bali Post)

Perajin Anyaman Keluhkan Sulitnya Bahan Baku

I Dewa Gede Bagus
Kerajinan anyaman, terutama anyaman bambu berupa sokasi (tempat banten dan lainnya-red), dulu sangat mudah terlihat di Desa Nyalian, Banjarangkan. Terutama di Banjar Pemenang dan Umaanyar.

Namun, dalam tiga tahun terakhir ini, kerajinan yang menggunakan bahan baku lokal itu sulit ditemukan lantaran sudah ditinggalkan warganya. Kenapa?

Kesulitan bahan baku bambu, merupakan salah satu faktor penyebab atau alasan warga Nyalian meninggalkan profesi sebagai perajin anyaman.

Mereka, kini lebih memilih berprofesi serabutan, buruh pasar, buruh bangunan atau penjual bunga dan canang di Pasar Galiran, Klungkung. Selain tidak banyak menghabiskan bahan baku yang tentunya biayanya mahal, proses pembuatan juga tak sesulit membuat anyaman.

Meski sampai saat ini masih ada warga yang bertahan sebagai penganyam. Kelompok kerajinan ini juga masih utuh terbentuk. Hanya saja, jumlah penekunnya tak seberapa. Hanya 10 persen (15 kepala keluarga) dari 150 kepala keluarga yang ada di Desa Nyalian.

Kondisi itu, tentu mencemaskan. Lantaran warisan leluhur luntur hanya gara-gara minimnya ketersediaan bahan baku. “Tetapi, kami tak bisa berbuat apa-apa.

Karena, kami sendiri tak mampu menyediakan bahan baku. Kalaupun harus dibeli dari tempat lain, tentu biaya yang dihabiskan tak sebanding dengan penghasilan yang diperoleh perajin,” kata Kepala Desa Nyalian, IB Alit Negara, Selasa (30/10) lalu.

Menurut dia, perajin anyaman Desa Nyalian hanya mampu berproduksi setengah jadi. Untuk finishing, hasil anyaman mereka dikirim ke daerah lain, salah satunya Bangli.

Oleh karenanya, saat ini banyak masyarakatnya yang memilih berprofesi sebagai buruh bangunan atau buruh pasar. Khusus perempuan, memilih sebagai penjual bunga atau canang. “Coba saja lihat siang harinya, mulai pukul 13.00. Banyak masyarakat kami yang berjejer menjual bunga atau canang,” katanya.

Meski mengaku berat, untuk membangkitkan kembali warisan leluhurnya itu, IB Alit Negara berjanji akan terus berupaya dengan keras. “Lagipula, perhatian pemerintah (Disperindag) cukup lumayan besar. Buktinya, beberapa waktu sempat digelar pelatihan dan pembinaan,” katanya.

Kadisperindag Klungkung, IB Adnyana menyatakan, apapun potensi yang berpeluang berkembang di Klungkung akan terus digenjot. Termasuk kerajinan anyaman bambu di Desa Nyalian.

“Dasar warga terjun sebagai perajin harus kuat di situ (Nyalian-red). Untuk pembinaan tentu akan lebih mudah,” katanya. *bal (BisnisBali)