Rabu, 22 Februari 2017

Japa Tuan

I Dewa Gede Bagus

Geguritan I Japa Tuan sebuah gambaran indah bata kata sastra yang melukiskan beragam hal penting dalam kehidupan. Ciri orang yang berilmu dan berpengetahuan adalah ia yang memiliki sikap rendah hati. Sebagaimana digambarkan I Gagak Turas kakak dari I Japa Tuan. Gagak Turas "ane negak turasin" atau yang duduk adalah berilmu. Artinya, ia yang duduk (di bawah) simbol dari kerendahan hati adalah memiliki pengetahuan sebenarnya. Duduk bisa ditafsirkan diam. Makanya jangan pernah mengira orang yang diam adalah bodoh, justru yang diam banyak ilmu atau pengetahuannya. Bahkan dalam dunia tantrisme, diam atau hening ke dalam adalah cara efektif mendownlod saripati pengetahuan rahasia. Dalam teks tutur disebutkan "sunya ingaran mawisesa" yang sunyi adalah utama.

Selanjutnya, ketika berilmu dan berpengetahuan kita hendaknya sungguh-sungguh dan terus menerus digunakan untuk mencari makna hidup. Terpenting adalah dengan ilmu pengetahuan kita bisa seimbang material spiritual. Semasih brahmacari carilah ilmu itu, grhasta gunkan ilmu untuk pemenuhan duniawi. Setelah waktunya wanaprasta gunakan ilmu pengetahuan mencari kesejatian hidup, dan bhiksuka gunakan ilmu pengetahuan untuk mengetahui jalan mati. Sebagaimana digambarkan I Japa Tuan "Japa ngaran mantra, Tuan ngaran tuhu". Artinya, sebaiknya pengetahuan digunakan secara sungguh-sungguh untuk mencari kesejatian hidup secara terus menerus melalui sebuah proses selayaknya mantra kehidupan.

Mencari kesejatian hidup tidak mesti harus melupakan duniawi. Justru duniawi adalah alat untuk mencapai tujuan. Hal yang ragawi adalah media untuk mencari kesejatian hidup sesungguhnya. Sangatma tidk akan dapat mencapai pembebasan sebelum ia mengambil badan sebagai kendaraan diri, meskipun nantinya ia akan usang dan tidak abadi. Hal itu digambarkan Ni Ratnaningrat istri dari I Japa Tuan. Ratna adalah perhiasan, Ningrat adalah identik dengan hal-hal duniawi, Ratnaningrat adalah hiasan duniawi. Ni Ratnaningrat akhirnya meninggal setelah menikah dengan Japa Tuan. Lantaran itu Japa Tuan bersma I Gagak Turas pergi ke surga mencari makna dari kehidupan. Artinya, hal yang duniawi tidak abadi, tetapi hal yang duniawi tangga menuju pada kelepasan.

Singkat makna tokoh dalam geguritan itu adalah mengajarkan kita, bahwa dengan kerendahan hati dan pengetahuan kita bisa memahami kesejatian hidup, tanpa harus menolak dunia.

Sumber : FB I Ketut Sandika

Senin, 13 Februari 2017

Valentine Alkimia Cinta:Sexs Adalah Ritus

I Dewa Gede Bagus

Valentine adalah hari kasih sayang, demikian dalam tradisi Barat. Dalam tradisi ketimuran (Bali), cinta kasih tidak ada perayaan khusus sebab cinta, asmara dan kasih sayang hendaknya selalu dihadirkan dalam diri kepada semua makhluk setiap saat dan waktu. Kendatipun ada perayaan Tumpek Krulut, hanyalah sebuah simbolis dalam ritual bahwa tresna lulut asih adalah dasar kehidupan manusia. Artinya, hari suci tersebut hanyalah media mengingatkan kita bahwa dasar kelahiran manusia berawal dari adanya kasih sayang. Sehingga Tumpek Krulut dirayakan melalui hal-hal yang mencerahkan, seperti ritual dst. Sebab kasih sayang adalah cinta alkimia yang mencerahkan. Berbeda dengan Barat, lazimnya hari kasih sayang diwujudkan lebih ke arah euforia sexsual (sexs party) dan sejenisnya.

Dalam teks tutur Bhuwana Mahbah disebutkan bahwa ketika tidak ada apapun. Nora hana (tidak ada) dewa, bhuta, bhuwana, akasa, dst, maka Sanghyang Sunya menciptakan Sanghyang Tiga Guru, dan selaanjutnya beliau menciptakan Sanghyang Guru Reka. Guru Reka, adalah Guru dunia yang menciptakan Lanang (laki-laki), perempuan (wadon) dan kedi (banci). Kemudian Sanghyang Guru Reka menanamkan benih Smararatih pada semuanya tujuannya jelas agar mereka memiliki cinta kasih sayang dan birahi tentunya. Namun agar tidak birahi, nafsu dan cinta serta asmara, kasih sayang dipahami dalam arti sempit, maka beliau menciptakan "aksara" atau sastra sebagai pengendali, seperti modre, swalalita, wrehastra, ardha candra, angka pati, pemada, carik, surang dst. Selanjutnya, atas kemurahan Sanghyang Guru Reka, aksara tersebut diajarkan kepada sang lanang, wadon dan kedi agar mampu memahami cinta, kasih sayang yang sebenarnya adalah tangga menuju pembebasan diri. Dari aksara ini, lahirlah yoga sastra, yakni sebuah jalan pembebasan dengan memahami hakikat aksara. Jadi teks tersebut secara tidak langsung memberikan makna cinta dan kasih sayang adalah tangga menuju pembebasan diri.

Lalu bagaimana dengan hakikat sexs? Dalam teks lontar Tutur Tattwa Menadi Jadma dijelaskan bahwa sanggama adalah yajna rahasia. Artinya, mereka yang bersanggama adalah melakukan ritual yajna. Pun demikian orang melakukan sanggama hendaknya terlebih dahulu melakukan posesi yajna. Sanggama tujuan jelas "ngereka sarira" sebagaimana disebutkan dalam teks tersebut. Sebab dari sarira witning trinadi (sumber 3 nadi). Selanjutnya dari ketiga nadi inilah muncul Ongkara. Singkatnya, tubuh manusia dipersonifikasikan sebagai Ongkara Sungsang (terbalik) dan Ngadeg (tegak). Dua Ongkara tersebut bertemunya di antara kedua alis------hingga nanti dipahami dan orang menemukan pembebasan. Jadi sanggama adalah ritual untuk manusia ngereka sarira agar yang punya sarira memahami aksara Ongkara. Kembali lagi pada aksara.

Kemudian Brhadaranyaka Upanisada menyebutkan dengan sangat jelas. Sexs adalah yajna. Inti manusia adalah air mani. Lalu, Prajapati menciptakan perempuan, dan kemulian perempuan terletak pada bagian bawah (vagina). Bahkan vagina disamakan dengan kunda (tempat pahoman), sebagai tempat pemeras air soma. Liang vagina adalah kunda, bulu vagina adalah rumput yajna. Kemudian orang melakukan sanggama adalah ia yang beryajna memeras air soma kehidupan. Sehingga sex adalah sakral.

Lalu merujuk sumber tersebut, apakah cinta dan sexs (sanggama), ada kesamaan? Sebab selama ini banyak yang salah kaprah cinta diartikan sama dengan sexs. Bahkan banyak orang beranggapan membuktikan cinta harus ngesexs, sebaliknya dengan ngesexs artinya cinta. Merujuk deskripsi di atas, cinta tidak sama dengan sexs walaupun identik. Cinta adalah kasih sayang universal sesungguhnya. Ketika ada cinta ia adalah benih melampui nikmat sanggama seungguhnya. Sedanggkan sanggama adalah sesuatu yang sakral yang tiada lain adalah ritual ngereka sarira. Berbeda bukan berarti dijauhkan atau bertentangan tetapi berhubungan. Sebab sanggama harus didasari dengan cinta kasih universal bahwa melakukannya bukan untuk pemenuhan birai tetapi melampui semua itu. Dengan demikian cinta dan sexs adalah tangga menuju "kebebasan" diri. Jika, dimaknai dan dilakoni dengan benar dan melalui pandangan benar.

Sekali lagi mecintai tidak mesti harus sexs, dan sexs bukan berarti cinta. Jadi, cinta dan sexs sesungguhnya ketika kita bisa melampui nikmat birahi, kecemburuan, iri hati, kedengkian, amarah dan semacamnya.
#rahayu

Sumber : Facebook I Ketut Sandika

Kamis, 09 Februari 2017

SPIRITUAL BALI I

I Dewa Gede Bagus

Ada sahabat saya yang bertanya, kenapa sih ilmu spiritual seperti meditasi dan sejenisnya yang datang dari luar Bali sangat banyak diminati? Memangnya di Bali tidak ada ya ilmu yang sejenis ? Pertanyaanya sangat menggugah saya untuk menuliskan sedikit hal tentang spiritual Bali, seperti meditasi dan sejenisnya.

Ilmu spiritual, seperti meditasi dst secara esensial memiliki kesamaan, yakni sama-sama berupaya mengungkap hakikat diri, mengenal diri. Siapa saya, darimana saya dan kemana saya setelah mati? Vipasana meditasi Buddhis juga sama, yakni berupaya mengenal diri mulai dari rambut, kulit, mata, hidung dst. Transendental meditasi juga memiliki maksud yang sama, dan jenis teknik meditasi yang lainnya pun sama berusaha mengenal diri hingga sampai memasuki alam bawah sadar dan akhirnya mampu mengetahui apa yang ada di balik bekerjanya pikiran, fisik dan jiwa.

Lalu bagaimana tentang spiritual Bali? Apakah meditasi, pranayama, yoga dll dikenal? Iya sangat banyak ada teks bergenre atau berjenis spiritual, seperti teks tattwa, kedyatmikan, kawisesan, dan pangiwan serta penengen. Jenis teks itu juga terbagi menjadi beberapa keputusan yang di dalamnya memuat beragam teknik esoterik tentang spiritualitas, baik metode dan penerapannya dalam sadhana laku.

Dalam teks KEPUTUSAN DASAKSARA disebutkan bahwa meditasi, yoga, pranayama dst adalah media mengenal diri. Sebab ia yang bisa mengenal dan mengetahui hakikat diri maka ia disebut pandita. Sebaliknya pandita (sang duijati) tidak mampu mengenal diri, bukan pandita namanya. Sudrapun mengetahui hakikat diri maka ia layak disebut pandita (nyan wong sudra wangsa wruh ya ri kitattwaning ri raga ika pandita pwa ya). Dengan mengenal diri, kita akan mampu mengetahui bagaimana cara kerja pikiran, tubuh fisik dan kesadaran serta hubungannya denga jiwa.

Lalu bagaimana mengenali diri? Disinilah masing-masing metode spiritual berbeda, tetapi memiliki tujuan yang sama. Selayaknya aliran sungai yang berbeda tetapi akan menuju pada samudra yang satu. Dalam teks KEPUTUSAN DASAKSARA, teknik mengenal diri dimulai dari mengetahui sepeluh aksara dalam organ. DASAKSARA adalah sepuluh jenis Aksara atau bijaksara yang memiliki kekuatan magis. Kesepuluh aksara ini adalah pasword untuk menghidupkan cakra dan kundalini dalam diri. Sebab cakra (simpul saraf) akan dapat berputar dengan baik, jika organ bekerja dengan baik. DASAKSARA inilah semacam kata kunci dalam mengaktivasi seluruh cakra, baik 7 cakram mayor dan ratusan cakra minor lainnya.

(Besambung)
*Maaf tulisan ini akan disambung ke edisi berikutnya sebab lazimnya kita sangat tidak nyaman membca status terlalu panjang 😊



Sumber : FB I Ketut Sandika