Iseng membuka file lama, sebuah tulisan amburadul yang berjudul SIAT PETENG SEBUAH NOVEL MISTIK BALI. Sebuah kisah yang berdasarkan kejadian nyata. Ternyata pada bagian ini sangat-sangat memainkan emosi saya yang menuliskannya. Hati yang tercabik oleh dendam, buah asmara yang dikandaskan hingga berakhir duka. Jadi, demikianlah antara Asmara dan Dendam hanyalah sebuah pertaruhan keakuan diri……
...,Entah kenapa malam itu, kegelapan seketika tersingkap menjadi sedikit terang oleh cahaya bulan malam yang temaram. Aku masih tetap dalam persembunyian itu bersama dengan orang-orang yang menyaksikan Siat Peteng. Dan, aku melihat sangat jelas sosok Odah berdiri di hadapan Pekak Mangku. Pekak Mangku masih meringis kesakitan menahan sakit, dan seketika isak tangis Pekak Mangku terdengar sembari meminta maaf. Karena suasana malam yang sunyi, samar-samar aku mendengar suara Pekak Mangku yang serak. “Nyai sudah mampu mengalahkanku, dan Nyai sudah membuka jalan kematianku. Maka sebelum aku mati, ijinkan aku meminta maaf atas apa yang telah aku lakukan.” Odah masih berdiri tiada bergeming sembari berkacak pinggang. Odah tidak menjawab, dan ia hanya mengucap “Hem..”. Pekak Mangku kembali berucap, “Jujur aku tidak bermaksud menyakitimu dengan memutuskan begitu saja cintamu yang tulus kepadaku. Aku yang salah telah mendengar perkataan orang-orang yang buruk tentangmu. Sikapku inilah yang aku sesali selama hidupku. Maafkanlah aku sebelum kematianku, agar aku mati tidak meninggalkan rasa bersalah”.
.Mendengar permintaan maaf Pekak Mangku, Odah menunduk dan menatap tajam Pekak Mangku sembari berludah ke samping kanan, “Bihhh….mudah sekali dirimu mengucap maaf, setelah dirimu menggores luka dihatiku. Sudah sekian lama aku menunggu hal ini untuk menuntaskan kebencian dan dendamku padamu.” Demikian kata Odah sangat keras, lalu odah menuding Pekak Mangku, “Hai kamu tua Bangka, tiada maaf dariku, sebab sudah terlalu sakit hati ini karena dirimu. Aku sudah mati rasa. Aku bukan lagi perempuan yang kamu hinakan dulu. Kamu seenaknya saja meminta maaf tanpa pernah memahami diriku dan hatiku. Hatiku telah hancur olehmu dan sakit, sehingga hari ini dengan ilmu Panugrahan Hyang Bherawi aku menghancurkan tubuhmu. Dan, aku rasa sakit mu sekarang setimpal dengan apa yang aku rasakan dulu. Matilah kau….hahahahaha.”
.
Odah tertawa ngakak, dan sebegitu kemarahan Odah sehingga tidak ada kata maaf untuk Pekak Mangku. Hal yang wajar aku rasa, sebab aku mendengar cerita dari orang-orang tentang kisah itu. Pekak Mangku memutuskan Odah, ketika Odah sudah merencanakan menikah dengan Pekak Mangku sendiri. Sakit hatinya Odah dan kelurgaku adalah ketika undangan pernikahan sudah berjalan, sarana upacara sudah dikerjakan, tetapi seketika Pekak Mangku dan keluarganya membatalkan sepihak pernikahan itu. Konon alasan Pekak Mangku membatalkan menikah, dan memutuskan meninggalkan Odah, karena Odah dituduh mewarisi Ilmu Leak. Pekak Mangku dan keluarganya takut, jika menjadikan Odah menantu, sebab Odah akan menebar Deluh Desti Terangjana di keluarga dan sekitar desa. Terlebih Pekak Mangku mudah percaya sama tuduhan orang-orang yang sesungguhnya iri hati akan kecantikan Odah dulu.
.
Aku mendengarkan cerita itu saja sudah berasa teriris sembilu, apalagi mengalami sendiri. Odah pasti merasakan hal yang sama, bahkan lebih daripada yang aku rasakan. Aku kembali mengalihkan perhatian kepada Odah yang sedang berdiri, dan apa yang dilakukan Odah diluar dugaanku. Odah merunduk lesu bersimpuh memapah Pekak Mangku. Odah menangis terisak-isak sembari berkata lirih “Jika saja engkau tahu, bahwa hingga kini aku masih menyisakan ruang pada hatiku untuk mu. Sebagaimana janjiku, bahwa aku akan tetap mencintaimu sampai raga ini tua dan mati. Maka dari itu, ruang yang sedikit tersisa kini akan aku berikan pada saat menjelang kematianmu.”
.
Nampak Odah menitikan air mata, dan segera mengusapnya. “Baiklah aku tidak dapat mengingkari perasaannku, bahwa masih ada rasa itu, dan aku sudah memaafkanmu atas segalanya. Lepaskanlah roh mu dari kungkungannya yang sudah rusak, dan berjalanlah ke timur laut, sebab arah itu jalan kematian yang benar.”
.
Aku terharu mendengar ketegaran Odah, dan tidak terasa air mataku ikut menetes. Ternyata Odah masih menyimpan rasa sedikit. Rasa yang sengaja dia tempatkan pada sudut hatinya yang sudah hancur berkeping-keping. Cinta yang tulus aku rasa, sebab diusia Odah yang renta Odah masih merasakan hal itu.
.
“Terimakasih..Nyi sudah memaafkan ku…dan rasanya sudah tiba saatnya aku melepaskan badan yang penuh dosa ini. Terimakasih telah nyupat segala karma burukku padamu. Satu hal yang aku mohon dan permintaan terakhirku, tuntunlah Sang Atma dalam kurungan ini agar bisa keluar dari ubun-ubun, sebab hanya Nyi yang bisa melakukan itu.”
.
Odah segera membaringkan Pekak Mangku di atas pasir, dan ia mulai mengambil sikap Amustikarana. Kemudian terjadi keheningan yang mendalam, dan Odah merafalkan mantra yang aku rasa mantra Panunggalan Dasaksara, mantra mendengung “Ong Sang, Bang, Tang, Ang, Ing, Nang, Mang, Sing, Wang, Yang, Ang, Ung, Mang, Ang-Ah Ong”. Setelah mantra diucapkan, maka aku melihat asap mengepul sangat tipis dari ubun-ubun Pekak Mangku, pertanda jiwa telah lepas dari kurungannya. Odah pun berdiri, dan menengadah melihat asap yang menjulang tinggi hingga terputus,….(Penggalan Siat Peteng Sebuah Novel Mistik Bali)
#Ongrahayufoto: Bli Gundakesa Pulasari