Valentine adalah hari kasih sayang, demikian dalam tradisi Barat. Dalam tradisi ketimuran (Bali), cinta kasih tidak ada perayaan khusus sebab cinta, asmara dan kasih sayang hendaknya selalu dihadirkan dalam diri kepada semua makhluk setiap saat dan waktu. Kendatipun ada perayaan Tumpek Krulut, hanyalah sebuah simbolis dalam ritual bahwa tresna lulut asih adalah dasar kehidupan manusia. Artinya, hari suci tersebut hanyalah media mengingatkan kita bahwa dasar kelahiran manusia berawal dari adanya kasih sayang. Sehingga Tumpek Krulut dirayakan melalui hal-hal yang mencerahkan, seperti ritual dst. Sebab kasih sayang adalah cinta alkimia yang mencerahkan. Berbeda dengan Barat, lazimnya hari kasih sayang diwujudkan lebih ke arah euforia sexsual (sexs party) dan sejenisnya.
Dalam teks tutur Bhuwana Mahbah disebutkan bahwa ketika tidak ada apapun. Nora hana (tidak ada) dewa, bhuta, bhuwana, akasa, dst, maka Sanghyang Sunya menciptakan Sanghyang Tiga Guru, dan selaanjutnya beliau menciptakan Sanghyang Guru Reka. Guru Reka, adalah Guru dunia yang menciptakan Lanang (laki-laki), perempuan (wadon) dan kedi (banci). Kemudian Sanghyang Guru Reka menanamkan benih Smararatih pada semuanya tujuannya jelas agar mereka memiliki cinta kasih sayang dan birahi tentunya. Namun agar tidak birahi, nafsu dan cinta serta asmara, kasih sayang dipahami dalam arti sempit, maka beliau menciptakan "aksara" atau sastra sebagai pengendali, seperti modre, swalalita, wrehastra, ardha candra, angka pati, pemada, carik, surang dst. Selanjutnya, atas kemurahan Sanghyang Guru Reka, aksara tersebut diajarkan kepada sang lanang, wadon dan kedi agar mampu memahami cinta, kasih sayang yang sebenarnya adalah tangga menuju pembebasan diri. Dari aksara ini, lahirlah yoga sastra, yakni sebuah jalan pembebasan dengan memahami hakikat aksara. Jadi teks tersebut secara tidak langsung memberikan makna cinta dan kasih sayang adalah tangga menuju pembebasan diri.
Lalu bagaimana dengan hakikat sexs? Dalam teks lontar Tutur Tattwa Menadi Jadma dijelaskan bahwa sanggama adalah yajna rahasia. Artinya, mereka yang bersanggama adalah melakukan ritual yajna. Pun demikian orang melakukan sanggama hendaknya terlebih dahulu melakukan posesi yajna. Sanggama tujuan jelas "ngereka sarira" sebagaimana disebutkan dalam teks tersebut. Sebab dari sarira witning trinadi (sumber 3 nadi). Selanjutnya dari ketiga nadi inilah muncul Ongkara. Singkatnya, tubuh manusia dipersonifikasikan sebagai Ongkara Sungsang (terbalik) dan Ngadeg (tegak). Dua Ongkara tersebut bertemunya di antara kedua alis------hingga nanti dipahami dan orang menemukan pembebasan. Jadi sanggama adalah ritual untuk manusia ngereka sarira agar yang punya sarira memahami aksara Ongkara. Kembali lagi pada aksara.
Kemudian Brhadaranyaka Upanisada menyebutkan dengan sangat jelas. Sexs adalah yajna. Inti manusia adalah air mani. Lalu, Prajapati menciptakan perempuan, dan kemulian perempuan terletak pada bagian bawah (vagina). Bahkan vagina disamakan dengan kunda (tempat pahoman), sebagai tempat pemeras air soma. Liang vagina adalah kunda, bulu vagina adalah rumput yajna. Kemudian orang melakukan sanggama adalah ia yang beryajna memeras air soma kehidupan. Sehingga sex adalah sakral.
Lalu merujuk sumber tersebut, apakah cinta dan sexs (sanggama), ada kesamaan? Sebab selama ini banyak yang salah kaprah cinta diartikan sama dengan sexs. Bahkan banyak orang beranggapan membuktikan cinta harus ngesexs, sebaliknya dengan ngesexs artinya cinta. Merujuk deskripsi di atas, cinta tidak sama dengan sexs walaupun identik. Cinta adalah kasih sayang universal sesungguhnya. Ketika ada cinta ia adalah benih melampui nikmat sanggama seungguhnya. Sedanggkan sanggama adalah sesuatu yang sakral yang tiada lain adalah ritual ngereka sarira. Berbeda bukan berarti dijauhkan atau bertentangan tetapi berhubungan. Sebab sanggama harus didasari dengan cinta kasih universal bahwa melakukannya bukan untuk pemenuhan birai tetapi melampui semua itu. Dengan demikian cinta dan sexs adalah tangga menuju "kebebasan" diri. Jika, dimaknai dan dilakoni dengan benar dan melalui pandangan benar.
Sekali lagi mecintai tidak mesti harus sexs, dan sexs bukan berarti cinta. Jadi, cinta dan sexs sesungguhnya ketika kita bisa melampui nikmat birahi, kecemburuan, iri hati, kedengkian, amarah dan semacamnya.
0 komentar:
Posting Komentar